J5NEWSROOM.COM, Surabaya – Operasi tangkap tangan terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yang menyidangkan kasus terdakwa Ronald Tannur dan memutuskan pembebasan anak mantan anggota DPR tersebut, mengindikasikan bahwa lembaga peradilan di Indonesia masih terpengaruh oleh korupsi. Ketiga hakim ditangkap saat menerima suap pada tanggal 23 Oktober, pada hari yang sama ketika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum dan membatalkan putusan bebas Ronald Tannur.
Keputusan untuk membebaskan Ronald Tannur yang ditetapkan oleh hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo pada bulan Juli lalu, dinilai janggal sejak awal karena mengabaikan fakta mengenai penyebab kematian Dini Sera Afriyanti, pacar terdakwa yang berusia 29 tahun.
Pakar Hukum: Fakta Hukum Jelas, Namun Putusan 3 Hakim Janggal
Suhartati, seorang pakar hukum dari Universitas Surabaya, menyatakan bahwa fakta dan kesaksian di persidangan seharusnya sudah cukup untuk menunjukkan penyebab kematian korban. Ironisnya, putusan hakim justru mengabaikan semua bukti dan keterangan saksi yang memberatkan terdakwa.
“Fakta penyebab kematian sudah jelas dari hasil visum dan keterangan ahli. Saya juga melakukan analisis terkait putusan tersebut, dan memang ada kejanggalan di dalamnya,” ujar Suhartati.
Ketiga hakim yang ditangkap saat menerima suap masih ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dalam operasi tangkap tangan itu, ditemukan barang bukti berupa uang tunai miliaran rupiah dan bukti transaksi suap yang melibatkan pengacara terdakwa. Suhartati menambahkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam kasus suap ini layak dikenakan pasal suap dan gratifikasi sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Ketiga hakim yang terkena OTT ini dipastikan akan dikenakan pasal di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, baik pasal suap maupun pasal gratifikasi, tergantung pada proses pembuktiannya,” tambahnya.
Suhartati juga mengungkapkan bahwa penangkapan hakim ini mencerminkan kerusakan mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia. Ia menyerukan agar Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan publik dengan membersihkan lembaga peradilan dari praktik suap dan makelar kasus.
“Meski sistem sudah dibangun, jika mentalitas aparat penegak hukum tidak diperbaiki, ini akan menjadi kesulitan. Jika aparat mudah disuap dan gratifikasi terjadi, bahkan di Mahkamah Agung terdapat makelar kasus, ini menjadi catatan serius untuk kita semua,” jelasnya.
Budaya Koruptif di Lembaga Kehakiman
Dalam wawancara terpisah, Herlambang Perdana Wiratraman, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa penangkapan hakim karena suap menunjukkan bahwa budaya korupsi di lembaga kehakiman masih sulit dihilangkan meskipun reformasi telah berlangsung lebih dari 25 tahun.
“Ini menunjukkan bahwa budaya korupsi masih bertahan di institusi kekuasaan kehakiman. Upaya reformasi di dalam tubuh kekuasaan kehakiman belum mampu mencegah kasus suap atau perdagangan perkara,” ungkap Herlambang.
Seorang warga Surabaya, Robertus, menyayangkan penangkapan hakim yang terlibat suap. Ia merasa prihatin ketika hukum tidak ditegakkan secara adil dan cenderung berpihak pada pemilik modal atau pemegang kekuasaan.
“Jika terbukti ada suap, ini menjadi pembelajaran bagi penegak hukum untuk menegakkan keadilan. Saat ini, hukum tidak lagi tajam ke atas, tetapi lebih tajam ke bawah. Praktik suap ini menunjukkan bahwa korupsi masih ada, terutama di lembaga hukum yang kini menjadi sorotan masyarakat,” kata Robertus.
Mahkamah Agung Hormati Proses Hukum
Juru bicara Mahkamah Agung, Yanto, menyatakan bahwa pihaknya menghormati proses hukum yang berlangsung terkait penangkapan ketiga hakim tersebut. Mahkamah Agung tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah, tetapi jika ketiganya terbukti bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, mereka berpotensi diberhentikan secara permanen.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah