J5NEWSROOM.COM, Jakarta – KTT BRICS di Kazan, Rusia, minggu lalu, dihadiri oleh 36 negara dan menunjukkan kehadiran aliansi baru yang berkomitmen pada multilateralisme, inklusivitas, kerjasama saling menguntungkan, pembangunan berkelanjutan, hubungan antarmanusia, dan perdamaian. Aliansi BRICS, yang awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, kini telah meluas dengan bergabungnya Iran, Mesir, Ethiopia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Saat menutup pertemuan, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa lebih dari 30 negara telah menyatakan minat untuk bergabung dengan BRICS, termasuk Indonesia, seperti yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Sugiono.
Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, menilai bahwa bergabung dengan BRICS menawarkan berbagai potensi ekonomi bagi Indonesia, terutama karena BRICS terdiri dari negara-negara berkembang dengan perekonomian besar yang berpengaruh pada ekonomi dan geopolitik global. Negara-negara dalam BRICS dapat menyuarakan kepentingan bersama, berbeda dengan keanggotaan di OECD yang melibatkan negara maju dan berkembang dengan perbedaan kepentingan yang lebih besar.
“Dengan bergabung bersama negara-negara berkembang, Indonesia bisa menyuarakan kepentingan nasional yang sejalan dengan negara-negara lain untuk menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih adil,” ujar Faisal. Ia juga menambahkan bahwa pasar domestik yang besar di negara-negara BRICS berpotensi memperluas penetrasi pasar ekspor Indonesia.
Namun, Faisal menekankan bahwa dampak yang dirasakan mungkin tidak signifikan jika dibandingkan dengan kerjasama bilateral atau multilateral lainnya, karena kerjasama BRICS bersifat tidak mengikat, hanya dalam bentuk kesepakatan seperti Memorandum of Understanding (MoU). Ia memperkirakan jika Indonesia bergabung dengan BRICS, pertumbuhan ekonomi Indonesia mungkin hanya bisa meningkat di atas lima persen, tetapi sulit mencapai delapan persen tanpa investasi yang substansial.
Hubungan dengan “Negara-Negara Global South”
Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, melihat keinginan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS sebagai refleksi dari politik bebas aktif yang tercantum dalam UUD 1945. Ia menilai langkah ini bertujuan untuk menghindari persepsi bahwa Indonesia berpihak pada satu pihak tertentu di kancah internasional. David juga sepakat bahwa keanggotaan BRICS dapat meningkatkan investasi dan diversifikasi ekspor di luar komoditas.
“Dengan investasi itu, kita bisa membuka pasar ekspor baru dan meningkatkan proporsi perdagangan internasional dalam ekonomi kita,” jelasnya.
Pengamat Ingatkan Persepsi Barat Jika Indonesia Gabung BRICS
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengakui bahwa keanggotaan BRICS bisa memberikan dampak positif bagi investasi dan perdagangan Indonesia. Namun, ia memperingatkan tentang persepsi negatif yang mungkin muncul dari dunia barat, terutama Amerika Serikat, terkait potensi penggunaan mata uang tunggal dalam BRICS yang bisa dianggap sebagai tindakan de-dolarisasi.
“Ini perlu diantisipasi, karena persepsi bahwa BRICS adalah kelompok yang bertujuan untuk melawan dominasi AS bisa mempengaruhi hubungan internasional Indonesia,” ungkap Josua.
APINDO Hormati Niat Indonesia
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menghormati keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Ia berharap pemerintah memiliki agenda ekonomi yang jelas terkait keanggotaan ini dan bisa mengkomunikasikan tujuan serta kepentingan ekonomi nasional dengan baik kepada publik.
“BRICS memiliki bobot keberpihakan geopolitik tertentu, dan penting bagi Indonesia untuk memahami hal ini,” ujar Shinta. Ia juga menambahkan bahwa bergabung dengan BRICS dapat membantu Indonesia menciptakan diversifikasi sistem keuangan domestik yang tidak bergantung pada sistem SWIFT atau USD, yang akan meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah