J5NEWSROOM.COM, Surabaya – Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari membuat Rahmat Ali mencari sumber pendapatan tambahan di luar pekerjaannya. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil, sehingga ia terpaksa beralih ke aplikasi pinjaman online (pinjol) yang banyak beredar di media sosial.
“Yang jadi target iklan pinjol biasanya punya saldo rekening yang sedikit, mungkin karena data kita mudah bocor. Saat itu, aku dalam kondisi terdesak, jadi bukan tertarik, tapi terpaksa,” ujarnya.
Rahmat Ali tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan dana dari lembaga pinjaman ini. Ia menjelaskan bahwa skema pinjol sangat menarik karena pinjaman bisa didapat tanpa jaminan. Proses pencairan dana juga sangat cepat, yang menjadi daya tarik bagi banyak orang, termasuk dirinya, yang tidak memiliki cara lain untuk meminjam uang dengan cepat.
Namun, meski mudah mendapatkan dana, Rahmat Ali merasa kesulitan saat harus mengembalikannya. Situasi ini memaksanya mencari pinjaman lain untuk membayar utangnya.
“Pembayaran bisa dilakukan dalam tiga atau enam bulan. Kenapa orang bisa terjebak pinjol? Karena pinjol menawarkan berbagai kemudahan, cukup dengan KTP. Jika ke bank, persyaratannya rumit. Di pinjol, cukup foto KTP dan selfie, dalam lima menit sudah cair,” tambahnya.
Termakan Investasi Bodong
Sementara itu, Hana Septiana mengalami situasi berbeda. Ia tidak terjerat pinjol, tetapi terbuai dengan tawaran investasi yang menggiurkan. Ia kehilangan lebih dari Rp 40 juta setelah terjebak dalam janji keuntungan dari dana yang disetorkan.
Hana awalnya tertarik dengan tawaran yang datang melalui grup WhatsApp, yang tidak sepenuhnya ia pahami. Ia percaya karena komunitas itu mirip dengan nama produk perawatan kulit yang biasa digunakannya. Tugas sederhana yang dikerjakannya awalnya memberikan uang ke rekeningnya.
“Setelah beberapa kali, jumlahnya menembus Rp 40 juta. Sayangnya, ketika uang itu tidak bisa ditarik, aku tergoda untuk mentransfer lebih banyak lagi. Aku terjebak karena keuntungan yang sebelumnya cair,” ungkap Hana.
Minim Literasi Keuangan
Pengajar Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya, Bertha Silvia Sutejo, menjelaskan bahwa dalam kasus pinjol, tawaran bunga rendah seringkali menyesatkan masyarakat yang kesulitan mendapatkan dana. Literasi keuangan di Indonesia masih rendah, sehingga banyak orang tidak memahami kewajiban membayar bunga yang beragam.
Selain itu, gaya hidup yang mengikuti tren dan tuntutan pengakuan sosial membuat masyarakat mengeluarkan biaya lebih untuk aktualisasi diri. “Generasi Z cenderung memiliki gaya hidup mengikuti tren dan berusaha mendapatkan pengakuan sosial, yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu melalui pinjaman,” kata Bertha.
Dalam hal investasi bodong, masyarakat sering terjebak oleh tawaran keuntungan besar dalam waktu singkat. Padahal, tidak ada kepastian dalam investasi masa depan. Baik investasi bodong maupun pinjol, menurut Bertha, sering kali berfungsi untuk mengumpulkan data nasabah yang kemudian dijual untuk keuntungan lebih.
“Masyarakat harus lebih waspada dan memahami kebutuhan serta kemampuan membayar sebelum meminjam atau mengikuti tawaran investasi,” tegasnya. Ia menekankan agar pinjaman tidak digunakan untuk konsumsi, tetapi untuk modal usaha yang bisa mendatangkan keuntungan.
Sejak 2017 hingga Maret 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menghentikan lebih dari 9.000 entitas keuangan ilegal, termasuk investasi ilegal dan pinjaman online yang merugikan masyarakat dengan bunga tinggi dan praktik penagihan yang tidak etis.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah