Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
KEMENANGAN Donald Trump dapat saya sebut sebagai kemenangan besar. Selain memenangkan kepresidenan Amerika, Senat dan (kemungkinan) Kongress, juga pada tingkatan tertentu berhasil menenangkan hati sebagian yang selama ini memiliki simpati yang kecil bahkan tidak bersimpati padanya. Hal ini kemudian terbukti dengan kemenangan Trump sebagai Presiden, tidak saja secara elektoral. Tapi juga secara popular vote atau jumlah pemilih mayoritas.
Beberapa segmen masyarakat yang selama ini dianggap tidak senang dan tidak mendukung Donald Trump karena dianggap rasis dan anti imigran. Donald Trump nampaknya berhasil meraih simpati mereka dalam jumlah yang signifikan. Dua segmen masyarakat di antaranya adalah pemilih Afro Amerika dan Hispanic. Kedua Komunitas ini memberikan suara yang cukup signifikan kepada capres dari Partai Republikan itu.
Selain Afro dan Hispanic ternyata Trump juga berhasil menggaet simpati dan dukungan dari masyarakat Muslim dan Timur Tengah (Arab). Kita ketahui bahwa suara Komunitas Muslim dan Arab di Amerika cukup signifikan. Menurut data terakhir ada sekitar 5-7 pemilih Muslim dan/atau Arab di negara ini. Jumlah yang boleh jadi lebih besar ketimbang suara masyarakat Yahudi.
Simpati dan dukungan masyarakat Muslim/Arab ini memang terasa asing dan banyak menimbulkan pertanyaan. Kita kenal bahwa selama ini karena pertimbangan “kebebasan” (freedom) dan penerimaan (acceptance) masyarakat Muslim cenderung memihak dan mendukung Partai Demokrat. Ada asumsi yang terbangun selama ini bahwa Partai Demokrat lebih bersahabat dan lebih dekat kepada masyarakat minoritas dan pendatang (imigran) ketimbang Partai Republikan. Namun dengan kemenangan Trump kali ini nampaknya persepsi atau asumsi itu mulai bergeser.
Ada beberapa alasan penting kenapa masyarakat Muslim dan/atau Arab mulai simpati dan memberikan dukungannya kepada Donald Trump dan Republican secara umum. Tentu pertimbangan ini tidak mudah bahkan seperti yang pernah disampaikan menyebabkan perbedaan opini dan friksi di kalangan masyarakat Muslim Amerika. Pertimbangan-pertimbangan itu tentu mencakup kebijakan publik, baik dalam negeri (domestik) maupun luar negeri (foreign). Selain itu tentu juga ada pertimbangan etis, moral dan karakter pribadi kedua kandidat utama itu.
Secara etis, moral dan karakter, tidak dapat disangkal banyak yang meragukan bahkan meyakini jika Donald Trump kurang pas. Bahkan di saat sudah dicalonkan sebagai Presiden saja Donald Trump ditetapkan oleh pengadilan New York dengan 37 tuduhan kejahatan. Donald Trump juga dikenal dengan gaya flamboyan, womanizer, dan mulut yang pedas. Kata-katanya tidak dikontrol dan kerap menimbulkan kontroversi bahkan kegaduhan dan keresahan.
Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan, khususnya di rana kehidupan publik, Kamala dan Partai Demokrat jauh lebih tidak menguntungkan kali ini. Permasalahan pertama dari Kamala dan Partai Demokrat adalah ketidak jujuran dalam kebijakan publik. Kita mendapatkan dalam beberapa kesempatan Kamala berubah sikap mengikut kepada “kemungkinan dukungan” kepadanya.
Karakter ketidak jujuran itu ternampakkan ketika Kamala berbicara tentang isu Palestina-Israel. Ketika di depan orang-orang Yahudi dengan tegas menyatakan dukungan penuh kepada Israel. Bahwa apa yang dilakukan Israel saat ini adalah membela diri (self defense) dan Amerika berkomitmen penuh dalam dukungan persenjataan. Namun di saat berada di masyarakat mayoritas Arab dan Muslim Kamala juga menyampaikan keinginannya agar perang segera berakhir sekaligus menginginkan solusi dua negara.
Karakter seperti ini oleh masyarakat Muslim dianggap “flip flop” alias “double standard” dan mencerminkan ketidak jujuran dalam kehidupan publik. Trump dalam hal ini walau dalam beberapa kali menyampaikan statemen yang tidak sensitif, lebih bisa dimaklumi. Selain itu strategi politiknya untuk mendapatkan dukungan, juga lebih terbuka dan jujur walau mungkin tidak selalu diterima.
Harapan komunitas Muslim adalah kejujuran Donald Trump untuk mewujudkan “perdamaian” dan menghentikan peperangan sebagaimana disampaikan berkali-kali dalam kampanyenya. Apalagi sadar jika kalkulasi Trump dalam kebijakan globalnya adalah kalkulasi ekonomi dan keuangan. Dia pastinya sadar bahwa perang yang disponsori oleh Amerika telah banyak merugikan dan mengorbankan bangsa Amerika sendiri. Karenanya slogan “Amerika first” Atau mendahulukan kepentingan Amerika memang sejalan dengan penghentian bantuan keuangan dan militer baik ke Israel maupun ke Ukraina.
Selain isu global itu tentu komunitas Muslim sangat mendukung keterbukaan Donald Trump menentang pengrusakan nilai-nilai sosial dan keluarga dengan promosi terbuka LGBTQ dan perkawinan sejenis. Hal yang oleh sebagian menilai Kamala sebagai pendukung radikal dari kelompok LGBTQ dan perkawinan sejenis ini. Komunitas Muslim berharap Donald Trump akan memainkan peranan yang signifikan dan tegas dalam menjaga nilai-nilai keluarga (yang alami) dan sosial secara umum. Satu di antaranya adalah melakukan pelarangan “transfer” jenis kelamin atau apa yang disebut transgender. Hal ini sangat mengusik Bahkan mengkhawatirkan karena anak di bawah umur oleh Demokrat diberikan kebebasan dan jaminan untuk merubah jenis kelaminnya. Tentu atas nama kebebasan (freedom).
Promosi anti moralitas (berdasarkan agama) khususnya LGBTQ memang kencang di bawah pemerintahan Demokrat. Hampir segala lini kehidupan manusia terpenetrasi. Dari media, dunia entertainment, hingga ke kurikulum di sekolah-sekolah. Menjadikan lobbi LGBTQ di Kongress saat menjadi kekuatan lobi ketiga setelah lobby Yahudi dan Senjata. Suatu hal yang pastinya menjadi ancaman nyata bagi masyarakat Amerika, khususnya umat beragama dan lebih khusus lagi Komunitas Muslim.
Dengan mendekatnya Donald Trump dan Republican ke Komunitas Muslim kali ini boleh jadi membawa keberkahan tersendiri atau blessing in disguise. Selain ada harapan baru untuk mengakhiri perang dan menjaga untuk tidak terjadinya perang dunia ketiga. Terlebih khusus lagi harapan Komunitas Muslim untuk penghentian genosida di Gaza dan bantuan persenjataan Amerika bagi zionis Israel. Sekali lagi ini harapan. Semoga saja Trump memenuhi janji-janjinya ketika bertemu dengan warga Muslim selama kampanye selama ini.
Selain isu global di atas tentu harapan yang juga sangat penting adalah agar Trump tetap tegas menjaga nilai-nilai dan moralitas sosial masyarakat. Bagi Komunitas Muslim hal ini menjadi sangat penting bahkan menjadi prioritas kerja-kerja dakwah. Sehingga harapannya setelah kerenggangan (gap) antara Komunitas Muslim dan Trump (dan Republican) mengecil kedua pihak bisa berkolaborasi dalam mempromosikan nilai-nilai sosial yang positif. Kedekatan yang sangat yang selama ini tersembunyi karena “kesalahan pahaman”.
Kehadiran beberapa Imam dan Walikota Muslim kota Hamtramck dalam kampanye Donald Trump lalu itu nampaknya membawa angin baru dan harapan itu. Saya memang berharap sikap Republikan ke Komunitas minoritas (imigran) termasuk Komunitas Muslim membaik. Karena keduanya memiliki pegangan nilai-nilai sosial dan moralitas yang dekat. Semoga!
Manhattan, 11 November 2024
Penulis adalah Director Jamaica Muslim Center / Chaplain NYCHHC at Bellevue. Artikel ini dikirim via Japri ke J5NEWSROOM.COM, Selasa 12 November 2024