Mentan Ajak Milenial Jadi Petani, Penghasilan Bisa Lebih dari Rp10 Juta per Bulan

Petani milenial Didik Purwanto asal Kediri , Jawa Timur berswa photo dengan Kebun sayur, usaha pertanian yang sudah dijalaninya dua tahun. (dokumentasi pribadi).

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Menteri Pertanian (Mentan) Amran mengungkapkan bahwa program Petani Milenial telah menarik minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian modern, khususnya di Kalimantan Selatan. Pemerintah menggunakan teknologi mekanisasi untuk mengubah pertanian tradisional menjadi lebih efisien dan modern, sehingga petani muda tidak perlu bekerja dalam kondisi yang terlalu berat dan kotor, namun tetap dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Program ini juga diharapkan dapat menghasilkan keuntungan hingga 2-3 kali lipat dari hasil pertanian biasa.

Ribuan pemuda, terutama lulusan kampus dan anggota organisasi kepemudaan, telah mendaftar program ini. Menurut perkiraan Kementerian Pertanian, pendapatan bersih petani modern dapat mencapai sekitar Rp20 juta per orang, dengan teknologi yang menekan biaya produksi hingga 50%. Hal ini didukung dengan penggunaan alat pertanian modern seperti traktor, transplanter, drone, dan combine harvester.

Namun, tantangan untuk menarik generasi muda ke sektor pertanian masih besar. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyoroti bahwa mayoritas petani di Indonesia saat ini adalah generasi yang lebih tua, sedangkan petani muda hanya mencakup 21,93% atau sekitar 6,2 juta orang. Hal ini memicu berbagai program pemerintah untuk meningkatkan jumlah petani muda, seperti program Duta Petani Milenial (DPM) dan Duta Petani Andalan (DPA), serta inisiatif seperti digitalisasi pertanian dan wirausaha muda pertanian.

Didik Purwanto, seorang petani milenial dari Kediri, Jawa Timur, mengatakan bahwa pendapatan petani bisa mencapai lebih dari Rp10 juta per bulan jika permasalahan struktural yang sering dihadapi petani dapat diatasi. Didik menyebutkan, kesulitan akses terhadap pupuk bersubsidi, mahalnya biaya obat hama dan benih, serta dampak kebijakan impor yang sering menurunkan harga produk lokal menjadi hambatan utama. Ia menilai program pemerintah masih perlu disertai penyelesaian masalah struktural untuk benar-benar membuat sektor pertanian menarik bagi generasi muda.

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB, menambahkan bahwa program serupa pernah dijalankan namun gagal karena sektor pertanian dianggap kurang menguntungkan. Dwi menilai, selama pendapatan di sektor pertanian rendah, generasi muda akan cenderung enggan bergabung, terutama dalam usaha pertanian tanaman pangan tradisional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, petani muda yang fokus pada sayur hidroponik dan hortikultura mulai menunjukkan prospek yang baik, walau umumnya mereka masih menghindari tanaman pangan dasar.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah