Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
KAMIS, 14 November 2024, menjadi saksi dua dunia sepak bola yang kontras. Di Tanah Air, Liga 2 bergulir dengan tensi tinggi saat Persipura melawan Rans Nusantara. Sementara itu, di Amsterdam, Belanda, sebuah drama besar meletus dalam laga Liga Eropa UEFA 2024/2025 antara Ajax Amsterdam dan tim tamu asal Israel, Maccabi Tel Aviv.
Kalau di sini kita sibuk memantau hasil akhir pertandingan sambil menikmati tahu goreng, di Belanda lapangan hijau berubah menjadi awal konflik yang membakar jalanan. Pada Senin malam, sebuah tram dibakar oleh kelompok bersenjata tongkat dan petasan. Di Berlin, anak-anak muda Yahudi diisukan dikejar massa bersenjatakan pisau.
Presiden Amerika pun, tak seperti biasanya, merasa perlu mencuit soal kerusuhan di Amsterdam yang hingga kini belum sepenuhnya pulih. Hal ini memicu diskusi global, di media mainstream, mengingat konflik Israel-Palestina sering kali memengaruhi suasana di tempat-tempat jauh dari Timur Tengah.
Laga di Amsterdam sebetulnya berjalan tanpa kejutan. Ajax dengan mudah membantai Maccabi 5-0, menegaskan status Maccabi sebagai tim kroco yang hanya pelengkap jadwal. Namun, masalah utamanya bukan kekalahan telak itu, melainkan ulah pendukung Maccabi, yang dikenal berperilaku buruk bahkan di liga domestik mereka.
Israel menjadi anggota UEFA sejak 1994, memungkinkan tim-timnya bertanding di kompetisi Eropa. Namun kali ini, dengan ribuan hooligan, pendukung Maccabi datang membawa niat buruk. Malam sebelum pertandingan, mereka berkeliaran di jalanan Amsterdam, meneriakkan slogan rasis seperti, “Matilah orang Arab” dan “Tidak ada sekolah di Gaza karena anak-anak Gaza sudah tidak ada.”
Pada malam pertandingan, aksi mereka makin provokatif —merobek bendera Palestina, menyerang pengemudi taksi Muslim, dan menciptakan kerusuhan. Anehnya, polisi membiarkan ribuan massa yang kacau ini. Ketika penduduk lokal akhirnya melawan, tiba-tiba muncul istilah “Jews Hunt,” perburuan orang-orang Yahudi, yang didengungkan oleh politisi Israel dan media internasional.
Narasi ini didesain rapi: pendukung Maccabi beralih dari pelaku kerusuhan menjadi korban antisemitisme. Bahkan, Wali Kota Amsterdam, Femke Halsema, menyebut insiden ini sebagai aksi “hit and run” terorganisir.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menambah dramatisasi dengan menyebut peristiwa itu sebagai “pembantaian di jalan-jalan Amsterdam,” hingga mengklaim perlunya evakuasi militer. Namun, klaim ini kemudian ditolak oleh pemerintah Belanda.
Geert Wilders, politisi anti-Islam di Belanda, turut menyebut Amsterdam sebagai “Gaza di Eropa.” Padahal, bukti video menunjukkan kerusuhan itu dimulai oleh pendukung Maccabi. Seharusnya fokus pembahasan adalah perilaku arogan mereka, bukan isu antisemitisme yang justru mengaburkan fakta.
Teknik pemutar-balikan fakta ini sudah sering kita lihat. Aksi brutal pendukung Israel berubah menjadi pembahasan tentang antisemitisme, yang entah bagaimana selalu dikaitkan dengan Holocaust. Beredar pula kabar bahwa pengemudi taksi menggunakan aplikasi untuk melacak target, sementara individu di jalanan diperiksa paspornya untuk membuktikan kewarganegaraan.
Mari kita jernihkan pandangan. Istilah “Jews Hunt” tidak lebih dari alat untuk menutupi masalah sebenarnya: arogansi pendukung Maccabi, yang mencerminkan perlakuan brutal Israel terhadap Palestina. Apakah menolak perilaku buruk mereka otomatis dianggap antisemitisme? Tentu tidak.
Kasus Amsterdam bukan tentang antisemitisme, tetapi perlawanan terhadap arogansi yang melampaui batas. Dunia terus menyalahgunakan istilah antisemitisme untuk menutupi tindakan brutal Israel, dari pemerintah hingga tim sepak bolanya. Kita harus bertanya dengan jujur: siapa sebenarnya korban di sini, dan siapa pencipta kekacauan?
Jadi, jika Anda melihat pendukung sepak bola yang membakar bendera, menyerang taksi, dan meneriakkan kebencian di jalan, jangan tertipu jika mereka tiba-tiba tampil sebagai korban di berita. Itu hanyalah bentuk lain dari hooliganisme global yang diberi sentuhan politik.
Jika ada yang perlu diselamatkan di sini, itu adalah kesadaran kita untuk tidak terjebak dalam narasi palsu. Mungkin, pendukung Maccabi harus belajar sopan santun—atau lebih baik lagi, belajar kalah dengan cara elegan. Dan bagi kita di Tanah Air, biarkan Liga 2 tetap menjadi panggung bagi pemain lokal untuk berjuang tanpa embel-embel politik internasional.*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 17/11/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995