Prabowo dan Pemberantasan Korupsi

Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia. Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM

HARAPAN rakyat Indonesia kembali membuncah. Saat berkunjung ke Amerika Serikat (AS) pada 11 November 2024, Presiden Prabowo Subianto berpidato di hadapan anggota USINDO (United States-Indonesia Society) di Washington DC. Dalam kesempatan itu, ia menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi di Indonesia.

“Kalau investor merasa terganggu oleh korupsi di Indonesia, silahkan kontak langsung dengan saya. Saya tidak menoleransi korupsi. Korupsi adalah kanker ekonomi yang harus diberantas,” ujar Prabowo.

Pidato tersebut disampaikan di Washington DC, ibu kota negara adidaya dengan pengaruh besar terhadap ekonomi dunia. Jika janji ini tidak ditepati, kepercayaan dunia usaha internasional terhadap Indonesia dapat runtuh.

Sebelumnya, usai dilantik sebagai Presiden RI 2024–2029, Prabowo juga menyatakan tekadnya untuk memberantas korupsi di mana pun. Ia bahkan mengungkapkan siap mengejar koruptor hingga ke Kutub Utara sekalipun.

Pernyataan ini memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi korupsi, betapa pun sulitnya. Dalam sidang kabinet pertama, Presiden Prabowo dengan tegas menyatakan bahwa setiap menteri yang terlibat korupsi harus mundur dari jabatannya.

Presiden menyoroti bagaimana korupsi di Indonesia semakin merajalela. Ia menggambarkan kondisi ini dengan perumpamaan: “Dulu, koruptor hanya mengambil uang di bawah meja. Kini, seluruh uang di atas meja, bahkan mejanya sekalipun, ikut diambil.” Menurut Prabowo, korupsi adalah kanker yang mengancam keberlangsungan bangsa dan harus diberantas hingga ke akar-akarnya.

Janji Prabowo ini memberikan secercah harapan bagi masyarakat yang sudah lama geram melihat korupsi mengakar di berbagai lembaga. Berbagai kasus terbaru semakin menegaskan betapa korupsi sudah menjadi budaya yang sulit diberantas.

Contohnya adalah kasus suap hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam perkara Tonald Tannur, yang membuka kotak Pandora korupsi di Mahkamah Agung (MA). Publik dikejutkan oleh penemuan uang hampir Rp920 miliar dan 51 kg emas di rumah Zatof Ricar, mantan pejabat MA, yang diduga berasal dari praktik “korupsi hukum.”

Itu baru di MA. Bagaimana dengan lembaga lain seperti Kejaksaan, Polri, DPR, kementerian, dan lembaga pemerintah lainnya? Korupsi di lembaga-lembaga tersebut juga sudah lama menjadi sorotan publik.

Prof. Dr. Mahfud MD pernah menyatakan bahwa jaringan korupsi di Indonesia sangat luas dan kuat, mirip dengan yang dikatakan Wakil Presiden pertama Moh. Hatta: korupsi telah membudaya. Namun, Mahfud optimistis bahwa lembaga kepresidenan memiliki kekuatan untuk mengatasi masalah ini.

Menurutnya, Presiden memiliki kekuasaan besar, termasuk membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk memberantas korupsi secara total. Beberapa langkah yang bisa diambil, misalnya:

1. Menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
2. Memberlakukan pembuktian terbalik untuk asal-usul harta koruptor.

3. Merampas aset koruptor dan memiskinkan keluarganya.
4. Membubarkan partai politik yang pimpinannya terlibat korupsi.

Mencontoh Zhu Rongji

Prabowo bisa meniru langkah Zhu Rongji, mantan Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok, yang dikenal berani memberantas korupsi. Saat dilantik pada 1998, Zhu dengan tegas berkata, “Siapkan 100 peti mati: 99 untuk para koruptor, dan satu untuk saya jika saya korupsi.” Komitmen ini membawa Tiongkok menuju kebangkitan ekonomi dan pemerintahan yang lebih bersih.

Presiden Prabowo juga dapat menginisiasi “Undang-Undang Darurat Pemberantasan Korupsi” untuk memastikan langkah pemberantasan korupsi berjalan efektif. Dukungan masyarakat terhadap langkah tegas seperti ini akan sangat besar.

Namun, realisasi janji Prabowo ini membutuhkan dukungan dari tim hukum yang kuat, berani, dan konsisten. Pertanyaannya: apakah tokoh-tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra, Budi Gunawan, atau Jaksa Agung siap mengimplementasikan visi besar ini? Atau, seperti lirik lagu Ebiet G. Ade, “Kita hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang.”*

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI)