Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
SEJUJURNYA saya pribadi dari dulu tidak pernah simpati dan punya harapan ke Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump. Apalagi kalau hal itu berkaitan dengan urusan Timur Tengah. Terkhusus lagi isu Palestina Israel. Karena sejarah kepresidenan Trump cukup mengusik bahkan menyakitkan bagi bangsa Palestina dan Umat Islam dunia.
Kita ketahui jika pada masa kepresidenan Trump Amerika memang tidak banyak melakukan ekspansi perang di berbagai belahan dunia. Sehingga sebagian melihat Donald Trump sebagai “Pahlawan perdamaian”.
Tapi banyak yang lupa jika pada masanya beberapa hak dasar Palestina dirampok secara terbuka oleh Israel. Satu hal yang terpenting adalah pengakuan Amerika (Trump) terhadap Yerusalem sebagai Ibukota Israel, sekaligus memindahkan Kedutaan Amerika ke kota itu.
Karenanya keputusan sebagian besar Komunitas Muslim dan Arab khususnya di Michigan untuk memilih Donald Trump mengejutkan bahkan mengecewakan sebagian yang lain. Selain kenyataan di atas juga karena Donald Trump adalah sosok yang tidak bisa dipegang. Terbukti berkali-kali mengatakan tentang sesuatu namun kenyataannya berkata lain.
Ketika sebagian Komunitas Muslim memutuskan untuk memberikan suaranya ke Donald Trump saya dari awal tidak percaya kalau itu karena penilaian positif untuk Donald Trump. Walaupun seperti yang pernah saya sampaikan bahwa secara umum pada aspek domestik Partai Republican lebih positif. Tapi Trump secara pribadi tidak juga mewakili nilai positif itu.
Karenanya keputusan sebagian komunitas Muslim memilih Donald Trump lebih disebabkan oleh Pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Joe Biden dan Kamala Harris selama setahun ini telah berada di luar dari batas-batas apapun.
Pertimbangan apapun tidak bisa menerima sikap Pemerintahan Joe Biden terhadap pembantaian dan genosida yang terjadi lebih setahun di Gaza. Dan itu karena bantuan keuangan dan persenjataan Amerika. Israel dengan enteng dan tanpa pertimbangan rasa kemanusiaan melakukan penghancuran total (total elimination) di Gaza.
Realita itu menjadikan Komunitas Muslim mempertimbangkan dua hal:
Pertama. Memberikan hukuman kepada pemerintahan Biden-Harris dan Demokrat. Bahwa pemerintahan Biden-Harris harus diberi pelajaran atas kejahatan atau kolaborasi dan dukungan kejahatan yang diberikan kepada Israel selama ini.
Kedua. Masih menaruh harapan (mimpi) terhadap Trump untuk lebih bijak dalam kebijakan ke depan. Minimal bahwa Trump dalam kampanye-kampanyenya berjanji untuk menghentikan perang. Kata-kata Trump “we want peace all over the world” (kita ingin Perdamaian di seluruh dunia) menjadi impian semua. Dan Umat Islam berada di garda terdepan untuk menginginkan Perdamaian itu.
Karenanya beberapa pihak yang mengatakan Komunitas Muslim menyesal mendukung Donald Trump tidak seluruhnya benar. Hingga saat ini dengan merujuk kepada pemilihan anggota-anggota kabinetnya memang terasa pessimistik.
Calon-calon anggota kabinet yang dipilih mayoritasnya zionis atau memiliki afiliasi zionis dan Kristen Evangelikal yang ekstrim. Sehingga harapan untuk Trump memberikan keadilan bagi Palestina sangat pessimistik.
Namun untuk dinyatakan sebagai oenyesalan rasanya tidak juga. Karena memang dengan memilih Donald Trump bukan mengharapkan kebijakan yang lebih baik. Tapi mengharapkan dihentikannya genosida dan pembersihan etnis yang terus terjadi di Gaza, Palestina. Karena Trump belum mengambil alih roda pemerintahan harapan itu tentu masih ada. Dibandingkan Biden-Harris yang sudah jelas di depan mata membantu Israel melakukan kejahatan itu.
Selain Itu penyesalan juga tidak harus terjadi karena tujuan memenangkan Trump bertujuan memberikan hukuman (punishment) kepada Pemerintahan Biden-Harris dan Demokrat secara umum. Komunitas Muslim ingin memberikan pelajaran kepada pemerintahan Biden yang selama ini harusnya bisa melakukan sesuatu untuk menghentikan genosida itu. Tapi bukan hanya tidak mau menghentikan. Justeru sepenuhnya memberikan bantuan kepada Israel untuk leluasa melakukan kejahatan yang paling jahat dalam sejarah manusia.
Pada aspek ini (menghukum Pemerintahan Biden dan Demokrat) berhasil. Tidak saja bahwa Kamala Harris gagal memenangkan pilpres Amerika. Tapi juga Demokrat kalah total baik di Senat dan Kongress.
Dan hal ini dengan sendirinya membangun strategi penting bagi Komunitas Muslim ke depan. Bahwa di negara ini kita bisa ikut menentukan hasil dari sebuah pemilu. Karenanya Partai-Partai dan para kandidat harus mulai memperhitungkan Komunitas Muslim dalam kalkulasi politik mereka.
Akhirnya, apapun itu pemerintahan Donald Trump masih dalam proses penyusunan. Belum sepenuhnya terbentuk apalagi efektif. Memang diakui hingga saat ini mayoritas yang ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi penting, khususnya dalam kaitan urusan luar negeri, seperti Menlu, Menhan, hingga ke Dubes PBB dan Israel, adalah orang-orang yang “deeply Zionist connected.”.
Tapi sekali lagi, adakah pejabat tingkat tinggi Amerika yang murni lepas dari lobi Zionis?
Jawabannya: illa man rahima Rabbuh!
New York, 18 Nopember 2024
Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat. Artikel ini dikirim via Japri ke J5NEWSROOM.COM, Senin, 18 November 2024