Kezaliman Tata Ruang

Ilustrasi artikel Ahmadie Thaha tentang Tata Ruang. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

RIDWAN Kamil, cucu ulama pengelola sembilan pesantren yang kini maju sebagai calon gubernur dalam Pilkada Jakarta, membawa isu ketidakadilan tata ruang ke pusat diskusi kampanye. Dengan gaya khasnya, ia mengkritik kondisi Jakarta yang menurutnya seperti “panggung tragedi tata ruang.” Satu sisi kota dihuni gedung pencakar langit ber-AC, sementara sisi lain dipenuhi pemukiman kumuh yang berlumur keringat dan peluh.

Ketika hadir di depan aktivis dan warga Persatuan Ummat Islam (PUI) di Pancoran, Jakarta, Selasa (19/11/2024), RK —sapaannya— melontarkan isu “kezaliman tata ruang,” merujuk pada distribusi fasilitas dan kebijakan yang tidak merata. Konsep ini sejalan dengan teori keadilan spasial (spatial justice) dari David Harvey, yang menekankan pentingnya keadilan sosial dalam tata kelola kota.

Jakarta, sayangnya, merupakan contoh nyata dari ketimpangan. Data menunjukkan Jakarta memiliki Gini Ratio perkotaan sebesar 0,414 (2023), mencerminkan kesenjangan ekonomi signifikan. Wilayah seperti Menteng, PIK, atau SCBD menjadi simbol kemewahan, sementara Cilincing atau Kampung Melayu menampilkan wajah lain Jakarta —kumuh dan miskin.

Selain itu, penggusuran warga miskin untuk normalisasi sungai atau pembangunan infrastruktur sering memicu kritik. Menurut Ridwan Kamil, penggusuran paling banyak terjadi di era Gubernur Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), kader PDI-P yang mengaku sebagai partai “wong cilik.” Kebijakan semacam ini sering dinilai mengorbankan masyarakat kelas bawah demi keuntungan elite.

Ridwan Kamil, cucu dari KH. Muhyiddin, menawarkan pendekatan kreatif untuk mengatasi masalah ini. Salah satu gagasannya adalah kebijakan vertical housing, mendorong warga memanfaatkan rumah dua lantai milik mereka untuk dibangun bertingkat menjadi enam lantai sebagai kontrakan. Ide ini, menurutnya, dapat memperbanyak hunian tanpa mengambil lahan baru yang sudah langka.

Dengan kebijakan ini, warga yang bekerja di Jakarta dapat tinggal di kontrakan dekat kantor atau tempat kerja mereka, tanpa harus menempuh perjalanan jauh. Selama ini, ratusan ribu pekerja setiap hari bersesakan di busway atau kereta komuter, serta menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi, untuk pergi dan pulang kerja.

Kondisi ini menciptakan ketidakefisienan dan pemborosan uang, waktu, serta tenaga. Bahkan, menimbulkan stres berkepanjangan. Tak heran, Jakarta termasuk kota kesembilan paling stres di dunia. RK, melalui program vertical housing, berupaya memecahkan masalah kesenjangan tata ruang tersebut.

Selain itu, RK ingin memindahkan pusat perkantoran dari Jakarta Pusat ke wilayah lain, mengikuti konsep desentralisasi tata ruang ala Jane Jacobs. Tujuannya, mengurangi kepadatan serta meningkatkan aksesibilitas ekonomi di wilayah yang selama ini kurang berkembang.

RK juga menjanjikan program renovasi rumah milik warga miskin dengan dana Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Langkah ini, menurutnya, akan memperbaiki kualitas hidup tanpa menggusur.

Dalam pernyataannya, RK menyebut Jakarta sebagai “kota laki-laki” —tidak nyaman bagi perempuan, anak-anak, lansia, bahkan hewan. Minimnya trotoar yang aman dan nyaman, ruang publik inklusif, serta aksesibilitas menunjukkan bahwa tata ruang kota ini belum dirancang untuk keberagaman kebutuhan warganya.

Sebagai mantan wali kota Bandung dan gubernur Jawa Barat, RK memiliki rekam jejak positif, khususnya di bidang arsitektural dan tata ruang. Ia menciptakan taman-taman tematik yang ramah keluarga serta ruang publik yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Pengalaman ini menjadi modal untuk menjadikan Jakarta lebih inklusif.

RK boleh jadi mengambil inspirasi dari kota-kota dunia yang berhasil membangun tata ruang berkeadilan. Di Curitiba, Brasil, transportasi massal dipadukan dengan perumahan murah, sehingga warga kelas bawah memiliki akses yang lebih baik ke pusat kota.

Di Seoul, Korea Selatan, normalisasi Sungai Cheonggyecheon dilakukan tanpa penggusuran paksa. Warga direlokasi ke hunian yang lebih layak. Sedangkan di Singapura, public housing yang terjangkau dan terintegrasi dengan transportasi massal menjadikan kota ini salah satu yang paling inklusif di dunia.

Meski gagasan RK menarik, skeptisisme tetap ada. Apakah program renovasi rumah atau vertical housing dapat diterapkan di Jakarta yang penuh konflik kepentingan? Mungkinkah pembiayaan kebijakan ini terpenuhi di tengah anggaran yang sering terbatas?

Namun, RK tetap optimis, dan yakin bisa. Ia menyampaikan masalah tata ruang dengan gaya santai namun serius, berikut solusinya. Ia mengangkat isu mendasar yang sering diabaikan: tata ruang bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga keadilan sosial.

Kini, pilihan ada di tangan warga Jakarta, yang akan memilih pada 27 November. Apakah mereka percaya RK mampu mengubah Jakarta menjadi kota yang lebih ramah dan adil? Warga PUI meyakini Ridwan Kamil, cucu ke-50 daei ulama yang mewariskan sembilan pesantren di Jawa Barat, ini mampu melaksanakan visi dan misinya.

Jakarta memang dikenal sebagai kota stres kesembilan di dunia. Namun, dengan humor-humor RK yang terkenal melalui twit-twitnya, setidaknya stres itu sedikit terobati. Apalagi, jamaah PUI berteriak sambil bernyanyi serempak, mengacungkan telunjuk, “Pilih nomor satu, Jakarta maju!” Maksud mereka, pasangan Ridwan Kamil-Suswono.*

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 20/11/2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995