Akhaffu Dhararain

Ilustrasi artikel opini Ahmadie Thaha tentang Akhaffu Dhararain. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

SORE itu, seorang kawan —entah karena penasaran atau ingin diskusi— melontarkan tanya: “Bro, lo pilih siapa nih di Pilkada Jakarta 2024?” Saya sebagai warga Jakarta menarik napas sejenak, bukan karena bingung, tapi karena saya sudah menyiapkan template jawaban yang elegan, meski sedikit beraroma tongue-in-cheek.

Saya jawab dengan senyum lebar: “Saya ikut ijtihad para ulama sajalah. Masak iya saya lebih jago dari mereka? Kan enggak. Beberapa ulama dari ormas Islam seperti PUI, Alwashliyah, Hidayatullah, DDII, dan terakhir FPI, serta banyak ulama seperti Prof Din Syamsuddin, menyarankan kita pilih RIDO. Mereka bukan cuma kasih rekomendasi, tapi dengan argumen syar’i yang lengkap. Jadi, lewat pilihan ini, insya Allah lebih bisa saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Bismillah.”

RIDO, maksudnya, pasangan calon no 1 di Pilkada Jakarta 2024, Ridwan Kamil dan Suswono.

Ada yang protes, “Tapi Bro, FPI dukung RIDO, bukannya itu kompromi politik dengan Jokowi dan Fufufafa?” Saya langsung pasang ekspresi cool. “Eh, meskipun FPI pilih RIDO, mereka tetap berkomitmen ngejar Jokowi dan antek-anteknya. Terutama kasus Km 50 tuh. Sampai ke ujung dunia katanya. Coba, di mana komprominya? Kalau urusan hukum dan HAM, FPI tetap pegang teguh prinsipnya.”

Teman itu melanjutkan, “Tapi kan, Ridwan Kamil gabung koalisi yang di dalamnya ada Golkar, PSI, dll?” Saya angkat tangan seperti hakim.

“Di belakang RIDO masih ada partai-partai berbasis Islam kok, kayak PKS, PKB, dan PAN. Harapannya mereka bisa jadi pagar betis yang kuat, biar enggak direcoki Mulyono dan kawan-kawannya. Nah, ini kan soal strategi juga.”

Akhaffu ad-Dhararain

Prinsip akhaffu ad-dhararain (أخف الضررين) adalah salah satu kaidah dalam fikih Islam yang artinya “memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya.” Prinsip ini digunakan ketika seorang Muslim dihadapkan pada situasi di mana tidak ada pilihan yang sepenuhnya bebas dari risiko atau mudarat.

Dalam situasi seperti itu, prinsip ini memerintahkan untuk mengambil keputusan yang dampak buruknya lebih kecil, guna meminimalkan kerusakan yang mungkin terjadi. Dalam menentukan pilihannya pada Pilkada Jakarta, ummat Islam dengan dituntun para ulama menggunakan prinsip tersebut sebagai argumen syar’i.

Kaidah ini sangat relevan dalam konteks politik, terutama dalam pemilihan umum atau pilkada, ketika pilihan yang tersedia tidak sempurna, dan umat harus menentukan mana yang paling sedikit membahayakan kepentingan agama, umat, atau negara. Berikut analisa para ulama untuk Pilkada Jakarta 2024:

Analisis “Dharurat” pada Paslon No. 1 dan No. 3

1. Paslon No. 1: Ridwan Kamil-Suswono (RIDO)

Dharurat:

– Diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang dikenal sebagai kelompok pendukung pemerintah saat ini.

– Risiko terpengaruh oleh tekanan oligarki atau aktor politik tertentu yang selama ini dekat dengan rezim lama Jokowi dan rezim baru Prabowo.

– Hubungan politiknya dengan partai-partai besar bisa menjadi tantangan dalam menjaga independensi kebijakan.

Kelebihan:

– Kedua paslon tidak pernah menjadi pejabat Jokowi, baik di Istana maupun di salah satu kementerian.

– Ada partai-partai berbasis Islam (PKS, PKB, PAN) yang menjadi bagian dari koalisi, sehingga ada peluang memperjuangkan aspirasi umat Islam dan diyakini mampu menjadi benteng bagi paslon untuk tidak menyimpang dari visi dan misi mereka, serta menjaga agar mereka tidak melakukan korupsi dan kolusi serta tidak terpengaruh tekanan oligarki atau kekuatan politik/ekonomi tertentu yang merugikan rakyat.

– Bersedia menandatangani pakta integritas dengan ormas-ormas Islam, yang memberi jaminan lebih kuat untuk melindungi kepentingan umat Islam.

– Memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi kebijakan di tingkat legislatif. Pasangan calon nomor 1, RIDO, didukung oleh 12 partai dari Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus). Gabungan partai ini memiliki total 91 kursi atau sekitar 85% dari 106 kursi DPRD Jakarta. Partai-partai pendukung meliputi PKS (18 kursi), Gerindra (14 kursi), NasDem (11 kursi), Golkar (10 kursi), PKB (10 kursi), PAN (10 kursi), PSI (8 kursi), Demokrat (8 kursi), Perindo (1 kursi), dan PPP (1 kursi).

2. Paslon No. 3: Pramono Anung-Rano Karno

Dharurat:

– Keduanya kader dari partai politik yang dikenal memiliki rekam jejak Islamofobia.
– Pramono Anung selama sepuluh tahun membantu Jokowi di Istana.

– PDIP sebagai partai pengusung utama mereka memiliki sejarah permusuhan terhadap syariat Islam dan perjuangan umat, serta berpotensi mengancam kebebasan beragama.

– Sikap mereka terhadap nilai-nilai Islam dianggap tidak konsisten dan tidak mencerminkan kepentingan mayoritas masyarakat Jakarta yang Muslim.

– Memiliki kekuatan politik yang jauh lebih kecil di DPRD, hanya 15 kursi, maka pasangan nomor 3 menghadapi tantangan besar dalam memengaruhi kebijakan di tingkat legislatif.

Kelebihan:

– Tidak ada kelebihan signifikan yang mendukung aspirasi umat Islam.

Analisa Perbandingan Dharurat dan Alasan Memilih Paslon No. 1

– Bahaya pada Paslon No. 1 lebih ringan dibandingkan Paslon No. 3.

– Paslon No. 1 memiliki potensi untuk diajak bekerja sama melalui jalur politik dan telah memberikan komitmen tertulis dalam bentuk pakta integritas dengan ormas-ormas Islam. Hal ini memberikan peluang bagi umat Islam untuk menjaga kepentingannya melalui kontrol politik.

– Paslon No. 3 membawa risiko lebih besar karena mereka terkait erat dengan partai yang memiliki rekam jejak permusuhan terhadap Islam. Tidak ada komitmen jelas dari mereka untuk melindungi kepentingan umat Islam.

Alasan Memilih Paslon No. 1:

– Sesuai kaidah akhaffu ad-dhararain, memilih bahaya yang lebih ringan adalah langkah yang paling tepat dalam situasi ini.

– Dukungan kepada Paslon No. 1 bukan bentuk kompromi terhadap pemerintah saat ini, juga terhadap Jokowi dan kroninya, tetapi langkah strategis untuk mencegah bahaya yang lebih besar, yaitu dominasi pihak yang dikenal Islamofobia.

– Paslon No. 1 menunjukkan keterbukaan untuk berkomitmen pada kepentingan umat Islam, sehingga memberikan ruang untuk mengawal kebijakan mereka.

Praktek Ijtihad Politik

Prinsip tersebut telah digunakan dalam praktek ijtihad politik nyata. Di antaranya, baru-baru ini dilakukan oleh Forum Persaudaraan Islam (FPI) yang dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab. Hal sama dilakukan oleh ormas-ormas lain, seperti Persatuan Ummat Islam (PUI) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Terkait pilihan dan dukungan FPI pada RIDO (Paslon No 1), Habib Rizieq Shihab menegaskan bahwa keputusan mendukung pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) oleh DPD FPI Jakarta diambil berdasarkan hasil ijtihad politik yang didasari prinsip akhaffu ad-dhararain.

Namun, meskipun memberikan dukungan pada RIDO, HRS menjelaskan bahwa FPI tetap konsisten pada sikapnya melawan rezim Jokowi dan segala bentuk oligarki, serta menolak segala hal yang bertentangan dengan syariat Islam.

Pilihan pada RIDO bukan bentuk kompromi dengan pemerintah atau dukungan terhadap pihak-pihak anti-Islam, melainkan langkah strategis untuk mencegah kemenangan pihak yang lebih berbahaya, yaitu partai dengan rekam jejak Islamofobia. RIDO dinilai sebagai solusi terbaik karena adanya dukungan partai-partai Islam dalam koalisi mereka dan komitmen mereka terhadap pakta integritas yang melindungi kepentingan umat Islam.

Habib Rizieq juga mengingatkan bahwa keputusan ini bukan tentang individu kandidat, tetapi tentang pertimbangan realitas politik yang kompleks dan urgensi untuk meminimalkan mudarat. Beliau menyerukan kepada seluruh anggota FPI untuk tetap bersatu, mengikuti keputusan organisasi, dan tidak takut terhadap fitnah maupun hujatan pihak luar.*

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 21/11/2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995