Dramatik Datar

Ilustrasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

DI ANTARA pilkada kemarin yang paling dramatis adalah Kalsel dan Bengkulu. Di samping yang di Jakarta –yang masih harus pilkada putaran kedua. Selebihnya datar-datar saja: yang didukung mantan Presiden Jokowi menang semua.

Paling sial memang Rohidin Mersyah di Bengkulu. Tinggal tiga hari lagi pilkada Rohidin ditangkap KPK. Proses penangkapannya pun dramatis. Pakai kejar-kejaran. Di jalan raya antara Bengkulu-Padang.

Rohidin masih menjabat Gubernur Bengkulu, sampai Desember depan. Sebagai incumbent posisinya kuat.

Hari itu lima kepala dinasnya ditangkap KPK. Tuduhannya: setor uang ke pribadi gubernur untuk biaya pemenangannya di pilgub.

Saat lima kepala dinas masih ditahan di Polres, KPK mengejar Rohidin. Kalau saja ia berhasil sembunyi selama tiga hari bisa jadi hasil pilgubnya beda.

Kemarin Rohidin kalah –di perhitungan sementara. Yang menang adalah Helmi Hasan, wali kota Bengkulu dua periode.

Meski lahir di Lampung, Helmi sudah menjadi orang Bengkulu. Sebelum menjabat wali kota, adik menko Zulkifli Hasan ini sudah menjadi anggota DPRD Provinsi Bengkulu.

Yang juga sial adalah Acil Odah. Sebelum pilkada, suami Acil Odah juga diuber KPK. Sang suami, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor berhasil bersembunyi. Dalam persembunyiannya ia menyusun praperadilan.

Acil Odah sebenarnya sangat populer. Saat sang suami menjadi gubernur, Acil Odah menjabat kepala Dinas Kesehatan Kalsel.

“Acil” adalah bahasa Banjar untuk panggilan “tante”. “Odah” diambil dari nama lengkapnyi Raudlatul Jannah.

Saat Acil Odah sibuk-sibuknya berkampanye, Paman Birin jadi berita besar –yang sangat negatif.

Acil Odah pun kalah –dalam perhitungan sementara sampai kemarin sore. Yang menang adalah Muhidin, yang selama ini menjadi wakil gubernurnya suami Acil Odah.

Muhidin memang juga populer di Kalsel. Ia adalah wali kota Banjarmasin sebelum menjadi wakil gubernur.

Di Kalbar, sang wakil gubernur juga menang –berdasar perhitungan sementara.

Gubernur incumbent Sutarmaji kali ini ingin ganti pasangan. Sang wakil, Ria Norsan, lantas maju sendiri. Pintarnya, Norsan menggandeng tokoh Dayak, Krisantus Kurniawan.

Inilah pasangan Melayu-Melayu lawan Melayu-Dayak. Suara Melayu pecah dua. Suara Dayak utuh ke Krisantus, mantan anggota DPR-RI.

Tapi perhitungan suara masih seru. Angkanya sangat mepet. Kejar-kejaran, tipis sekali.

Di Lampung yang menang tokoh baru. Anak muda. Menangnya mutlak. Informasi lengkapnya sudah dilaporkan perusuh Disway di kolom komentar kemarin.

Selebihnya tidak menarik diikuti. Bobby Nasution, menantu Jokowi, mengalahkan incumbent di Sumut. Orang Jokowi lainnya menang Jateng: Ahmad Luthfi.

Jatim dimenangkan siapa lagi kalau bukan incumbent Khofifah Indar Parawansa. Di Jabar, putra Prof B.J. Habibie, Ilham, kembali kalah. Kali ini kalah oleh Kang Dedi, mantan Bupati Purwakarta.

Dua wali kota yang diusung semua partai, menang lawan kotak kosong: Surabaya dan Samarinda.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi kembali menjabat lima tahun lagi –setelah itu berpotensi jadi Gubernur Jatim.

Andi Harun di Samarinda memang tidak ada tandingannya. Di samping dicalonkan oleh semua partai, Andi Harun sudah pula maju sebagai independen.

Waktu itu partai-partai tidak memberikan kepastian. Andi Harun pun berniat maju dari independen. Sudah pun memenuhi semua syarat calon independen. Hampir pasti menang. Maka partai-partai mendukungnya.

Andi Harun adalah wali kota yang berani membenahi kekumuhan di sepanjang kali Karangmumus. Juga satu-satunya wali kota yang punya proyek membuat terowongan di bawah bukit. Itu untuk memperpendek jarak antara kecamatan di balik bukit Selili dengan pusat kota Samarinda.

Jakarta adalah satu-satunya daerah yang pakai putaran kedua. Yakni kalau tidak ada calon yang mendapat lebih 50 persen.

Kalau saja kemenangan Pramono Anung-Rano Karno tidak sampai 50 persen maka di putaran kedua akan bertemu Ridwan Kamil dan Suswono. Ini bisa berdarah-darah.

Sayang sekali, calon ketiga di pilgub Jakarta hanya berfungsi sebagai penyebab putaran kedua. Begitu mahal taruhannya. Alangkah baiknya, kelak, kalau merasa tidak kuat tidak usah maju. Hanya bikin sulit banyak orang.

Yang juga saya tunggu adalah data ini: berapa persen partisipasi pemilih di Pilkada serentak ini. Ini terkait dengan pembicaraan saya dengan seorang di desa yang kemarin pilih Golput.

“Kenapa Golput?” tanya saya.

“Saya kan tidak diberi uang. Padahal tetangga saya dapat,” jawabnya. “Saya ingin dapat uang sebenarnya. Saya kan baru sakit. Perlu uang,” tambahnya.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia