Pengamat: Tarif PPN Naik Jadi 12 Persen, Masyarakat Kelas Menengah Semakin Terjepit

Seorang perempuan membeli oleh-oleh di Pasar Inpres Kebun Sayur, pasar kerajinan tradisional, di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 13 Juli 2024. (Yasuyoshi CHIBA / AFP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perlambatan pertumbuhan konsumsi masyarakat pada triwulan-III 2024, yang hanya mencapai 4,91 persen secara tahunan dan minus 0,48 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Dalam konferensi pers pada 5 November, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan bahwa perlambatan tertinggi terjadi pada sektor pakaian dan alas kaki, serta jasa perawatan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.

Meskipun demikian, konsumsi rumah tangga tetap menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi triwulan-III 2024, dengan kontribusi 53,08 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikan harga kebutuhan pokok seperti BBM, minyak goreng, pangan, serta jatuh temponya pajak, cicilan, dan kredit disinyalir membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam pengeluaran.

Ekonom: Kenaikan PPN Akan Tambah Beban Masyarakat

Ekonom CELIOS Nailul Huda menilai indikator-indikator tersebut menunjukkan beban masyarakat yang terlalu berat. Ia menyebutkan, langkah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam kondisi ini sangat tidak tepat.

“Beban masyarakat sudah terlalu berat. Pemerintah memang membutuhkan dana untuk menutup defisit anggaran dan membiayai program-programnya, tetapi menaikkan tarif PPN justru akan menekan daya beli,” ungkap Nailul dalam wawancara dengan VOA.

Nailul juga mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mengoptimalkan penerimaan dari sektor lain, seperti pertambangan, atau mengejar pengemplang pajak yang menurut pernyataan Hashim Djojohadikusumo mencapai Rp300 triliun. Menurut Nailul, mengejar pengemplang pajak lebih menguntungkan dibandingkan menaikkan tarif PPN, yang diperkirakan hanya menambah penerimaan sekitar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun.

Tolak Kenaikan PPN, Masyarakat Gelar Gerakan Hidup Hemat Hingga Tidak Belanja

Kenaikan tarif PPN, meskipun hanya satu persen, diperkirakan akan mendorong harga barang naik hingga sembilan persen. Sebagai bentuk protes, masyarakat mulai melakukan gerakan hidup hemat, membuat petisi terbuka, hingga aksi boikot belanja.

Namun, Nailul memperingatkan dampak negatif dari aksi boikot terhadap barang lokal. Menurutnya, jika masyarakat berhenti membeli barang lokal, pelaku usaha kecil akan dirugikan, yang pada akhirnya akan kembali merugikan masyarakat.

“Boikot bisa dilakukan untuk barang impor, tetapi tidak untuk barang lokal. Jika produksi barang lokal menurun, ekonomi akan melambat, dan pelaku usaha kecil akan terdampak,” jelas Nailul.

Kapan Waktu Yang Tepat Menaikkan PPN?

Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan PPN hingga kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah pulih. Faisal menegaskan, kelas menengah memiliki kontribusi 84 persen terhadap total konsumsi di Indonesia, sehingga penurunan daya beli mereka akan berdampak luas pada sektor produksi dan industri.

“Kenaikan PPN sebaiknya dilakukan ketika daya beli masyarakat sudah pulih, paling tidak setara dengan kondisi sebelum pandemi. Saat ini, kondisi daya beli masih jauh di bawah level tersebut,” ujarnya.

APINDO Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Kenaikan PPN

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang masih dalam tahap pemulihan.

Shinta juga mengungkapkan bahwa kenaikan PPN akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi dan harga barang, serta memperburuk kinerja sub-sektor manufaktur yang sudah mengalami penurunan selama empat bulan berturut-turut.

“Kebijakan ini berisiko memperburuk ketimpangan sosial, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang paling terdampak oleh kenaikan harga kebutuhan pokok,” tambahnya.

Shinta mendorong pemerintah untuk berdialog dengan dunia usaha guna merumuskan kebijakan yang tepat, termasuk pemberian insentif fiskal, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNPB), dan pengembangan mekanisme seperti carbon trading.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah