Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
MALAM itu di Magelang, ribuan manusia berkumpul seperti lebah tertarik pada bunga. Langit malam melukis keheningan, sementara lampu-lampu panggung berpijar seperti bintang yang turun ke bumi. Panggung besar “Magelang Bersholawat” menjadi saksi lantunan doa dan parade shalawat —yang sayangnya, ditingkahi sejumput kealpaan.
Di tengah kerumunan jamaah, pedagang kecil Sonhaji berkeliling membawa es teh di atas kepalanya. Hidupnya sederhana, seperti barang yang dijualnya. Namun malam itu, harapannya untuk berdagang sekaligus mendengar shalawat berubah jadi mimpi buruk. Hatinya ditikam candaan kotor menyakitkan.
Kasus bermula ketika penonton meminta Gus Miftah memborong minuman yang diusung si pedagang. Lewat mikrofon, Miftah sempat bertanya, “Es tehmu masih banyak, tidak?” Lalu, dia sambung dengan kalimat tak pantas: “Ya sana jual, goblok!” Gelak tawa darinya pecah, tapi tak semua tertawa. Beberapa terluka, dan luka itu segera viral.
Video insiden penggoblokan terhadap pedagang kecil itu pun menyebar cepat di TikTok, disambung ke Twitter (kini X), membangkitkan emosi netizen. Komentar deras mengalir tak terbendung: “Semoga pedagang es teh itu ditinggikan derajatnya,” tulis seorang netizen. Yang lain lebih geram: “Kalau itu bapak saya, saya kejar Anda!”
Tokoh agama pun angkat bicara. KH Cholil Nafis dari MUI mengingatkan bahwa penceramah harus menjadi teladan, bukan sumber olok-olok. Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mempersoalkan, “Gelar ‘Gus’ seharusnya tidak diberikan sembarangan.” Jika akhlak dan integritasnya kurang, jangan panggil dia Gus Miftah!
Miftah, yang nama aslinya Miftah Maulana Habiburrahman, mungkin telah lupa bahwa candaan, seperti garam, jika berlebihan, bisa menyakitkan. Sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama, ia menghadapi tantangan besar: bersikap moderat mulai dari dirinya sendiri, misalnya dengan minta maaf.
Syukurlah, atas desakan Istana dan seantero netizen, Miftah memilih datang ke rumah pak Sonhaji yang sederhana, untuk meminta maaf, sekaligus menjalin persahabatan. Atasannya, Presiden Prabowo, bahkan berjanji akan memberikan modal kerja kepada pedagang asongan itu, agar taraf hidupnya terangkat.
Namun, ini bukan hanya soal Pak Miftah. Ahok (Basuki Cahaya Purnama) pernah dipenjara karena bacot ember yang sama. Insiden seperti ini mengingatkan kita semua untuk menjaga kata-kata. Seperti yang diajarkan Marshall B. Rosenberg dalam Non-Violent Communication, kata-kata harus digunakan untuk membangun, bukan merendahkan.
Malam di Magelang itu telah berlalu, tetapi kita punya kesempatan untuk menulis babak baru. Kepada Miftah, jadilah pelita bagi umat, bukan bayangan yang menggelapkan hati mereka. Ingat, tugas Anda antara lain mengawal isu moderasi beragama. Ucapan kotor tentu bukan moderasi, tapi tindakan ekstrem yang harusnya Anda cegah.
Dan kepada kita semua, mari belajar menakar dan menata tutur kata, hindari pembulian dan candaan sia-sia. Mari menghargai perjuangan kecil di sekitar kita, karena bangsa ini juga dibangun oleh mereka yang membawa dagangan di atas kepala, bukan hanya oleh mereka yang memegang mikrofon.*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 5/12/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995