Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
DEMOKRASI, kata para filsuf, termasuk salah satu pilihan bentuk berpemerintahan terbaik dari yang terburuk. Dan di negeri kita tercinta, Pilkada Serentak 2024 berlangsung secara kolosal sebagai salah satu festival besar demokrasi ini, lengkap dengan warna-warni strategi, intrik, dan momen mengharukan.
Kini, ketika euforia sudah mulai surut, grup-grup WhatsApp kita mulai dihiasi seruan yang seolah bijak: “Pilkada sudah selesai, mari kembali ke laptop.” Sebuah nasihat yang terdengar seperti ajakan memungut puing-puing keterbelahan dan melanjutkan hidup, sambil berharap laptopnya masih hidup dan tak kena virus.
Tapi tunggu sebentar, apa yang sebenarnya tersirat dari ajakan ini? Apakah ini murni panggilan untuk rekonsiliasi, atau malah tanda menyerah atas kenyataan pahit yang terus berulang? Faktanya, pengkubuan antara yang religius dan yang nasionalis masih ada. Mari kita ulas dengan sedikit humor, tetapi tetap mengakar pada fakta.
Pilkada memang berjalan aman, lancar, tentu banyak riak-riak. Itu fakta. Tidak ada kerusuhan besar, tidak ada perang mulut massal di jalanan. Paling ada lempar-lemparan kursi di arena TPS. Yang lebih parah, terjadi pembacokan di Sampang, serta saling lempar panah di Papua. Namun, di luar itu, juga ada aroma cawe-cawe yang sulit diabaikan.
Bukankah kita semua mendengar bisik-bisik tentang pejabat yang “terlalu aktif membantu” atau aparat yang “kebetulan salah arah”? Kita juga tahu soal money politics yang entah kenapa selalu berhasil menjadi bumbu wajib pesta demokrasi. Sepertinya, bagi sebagian orang, demokrasi bukan sekadar hak suara, tetapi hak “uang suara.”
Seruan untuk rekonsiliasi tadi muncul dalam berbagai bentuk di platform media sosial. Lihat saja komentar yang viral di grup-grup WhatsApp: “Yang menang kita hormati, yang kalah kita sayangi.” Sebuah kalimat yang nyaris menyamai kebijakan ibu-ibu PKK membagi jajanan arisan secara adil dan merata.
Ini merupakan refleksi dari harapan bahwa setelah semua debat panas, setelah pencoblosan yang bebas-rahasia, ada yang coba menyegarkan suasana dengan humor: “Kita lupakan perbedaan, mari kita karaoke.” Seolah-olah Pilkada hanya selingan sebelum pesta dansa berikutnya. Ada juga yang mencoba mengingatkan bahwa kita ini bersaudara.
Dikutiplah peribahasa Maluku yang terkenal, Ale rasa _eta rasa, katong samua basudara, seng ada lawange, yang maknanya mencerminkan nilai persaudaraan dan kebersamaan di tengah keberagaman masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, artinya, “Perasaanmu adalah perasaanku; kita semua bersaudara, tak ada permusuhan.”
Frasa “Ale rasa beta rasa” menegaskan pentingnya memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ini menunjukkan, setiap individu memiliki nilai yang sama dalam tatanan sosial. “Katong samua basudara” adalah prinsip dasar bahwa semua orang, terlepas dari suku, agama, atau status sosial, adalah satu keluarga besar.
Sementara frasa “Seng ada lawange” berarti tidak ada permusuhan. Dalam masyarakat Maluku, konflik diselesaikan dengan dialog dan musyawarah, mengutamakan perdamaian di atas segalanya. Ini filosofi mendalam tentang empati, solidaritas, dan kerukunan dalam masyarakat meskipun hidup dari latar belakang yang berbeda.
Peribahasa ini sangat relevan dalam kehidupan modern, terutama di tengah masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh isu-isu politik, sosial, dan budaya. Ini mengajarkan filosofi bahwa perbedaan tidak harus menjadi pemisah, melainkan dapat menjadi kekuatan untuk bersatu. Konflik diminimalisir, dan persaudaraan nasional dijaga.
Kita perlu menyatukan hati. Sebab, setelah Pilkada, pekerjaan rumah kita baru dimulai. Kita harus memastikan bahwa para pemenang tidak hanya berpesta kemenangan, tapi juga bekerja sesuai mandat rakyat. Kita harus memastikan yang kalah tidak sibuk mencari celah untuk menggugat, melainkan mencari cara lain untuk berkontribusi.
Dan yang paling penting, kita semua sebagai rakyat harus tetap kritis. Bersama itu, di tengah kekurangan dan masalah yang ada, mari kita jadikan ini momen konstruktif. Pilkada adalah cermin besar yang memantulkan wajah kita sebagai bangsa. Jika ada yang kusam, mari kita poles. Jika ada yang retak, mari kita perbaiki.
Tujuannya bukan untuk sekadar terlihat cantik, tetapi agar demokrasi kita benar-benar menjadi instrumen perubahan dan perbaikan (ishlah). Mari kita kembali ke laptop, tapi jangan lupa untuk memastikan perangkat lunak demokrasi kita terus diperbarui, bebas virus, dan tetap terkoneksi ke realitas yang menunggu di depan mata.
Pilkada selesai, atau akan segera selesai, tapi tugas kita tidak, bahkan menunggu di depan mata. Itu artinya, demokrasi tidak hanya soal siapa menang atau kalah, tapi bagaimana semua ini bisa menjadi jalan untuk membangun bangsa.
Sekali lagi, ale rasa beta rasa, katong samua basudara. Kata orang Jawa, sapa saudara sai sedulur, siapa pun adalah saudara. Dan ya, semoga laptopnya tidak hang.*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 9/12/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995