Oleh: L. Nur Salamah, S.Pd.
VIRAL. Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan kasus tentang Gus Miftah yang telah menghina penjual es di hadapan ratusan orang dengan mengatakan ‘Goblok’.
Namun, yang ingin dibahas di sini bukan tentang Gus Mif atau penjual es, bukan tentang benar atau salah, halal atau haram, bercanda atau mengejek. Namun, secara etika jelas tidak pantas. Sebagai ulama yang disebut sebagai pewaris nabi, mengeluarkan kata-kata yang merendahkan martabat orang lain.
Terlepas dari itu semua, mari kita menelisik dari sudut pandang yang lain. Pedagang yang hidupnya seperti Pak Sunhaji merupakan fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terlihat, sedangkan yang tidak terlihat itu jauh lebih banyak.
Mengapa sosok seperti Pak Sunhaji itu ada? Karena sebelum-sebelumnya, dari rekam jejak digital yang ada, acapkali Gus Mif memborong dagangan ketika berada di panggung dakwah.
Sehingga, diakui atau tidak, pada kesempatan yang lain akan ada pedagang yang datang untuk mengundi nasib, berharap dagangannya diborong (dibeli semua). Inilah sebenarnya mental yang tidak baik, yakni mental miskin.
Memperbaiki Mental
Oleh karena itu, penting kiranya bagi kita khususnya dan masyarakat pada umumnya memiliki mental kaya yaitu mental di mana diri kita selalu merasa cukup. Tidak mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Sebagaimana kisah Abdurahman bin Auf. Saat hijrah ke Madinah, tidak membawa bekal harta benda. Kemudian Rasulullah saw. mempersaudarakan dengan kaum ansar yaitu Saad bin Rabi’.
Saad bin Rabi’ adalah saudagar yang kaya raya, memiliki banyak toko, dan dua istri. Kemudian ia mengatakan kepada Abdurahman bin Auf. Jika dia mau, akan diberikan sebagian toko-toko itu kepada Abdurahman bin Auf untuk dikelola. Kemudian jika dia tertarik dengan salah satu istrinya, maka dengan senang hati Saad bin Rabi’ akan menceraikannya untuk kemudian dinikahi oleh Abdurahman bin Auf.
Namun, ternyata Abdurahman bin Auf tidak menginginkan itu semua. Baik istri maupun toko yang dimiliki oleh Saad bin Rabi’. Beliau hanya minta ditunjukkan di mana ada pasar, supaya dia bisa berjualan di sana.
Mengapa demikian? Jelas, ini karena mental yang dimiliki seorang Abdurahman bin Auf adalah mental kaya. Merasa bisa, merasa mampu, sehingga tidak lagi ingin atau berharap belas kasih dari orang lain.
Demikian sebaliknya, Saad bin Rabi’, karena dirinya merasa cukup, merasa mampu maka tidak merasa berat hati ketika akan memberikan sesuatu yang dicintainya kepada saudara atau kerabatnya. Bahkan istri sekalipun rela untuk diserahkan.
Di samping itu, karena Saad bin Rabi’ juga sangat memahami bagaimana karakter Abdurahman bin Auf yang bermental kaya, ia yakin betul tidak akan mengambil itu semua.
Sayangnya, mental kaya ini langka dimiliki oleh masyarakat saat ini. Artinya apa? Tidak sedikit orang kaya tapi bermental miskin juga. Sehingga, sebanyak apapun harta dan kemewahan yang dimiliki tetap saja rakus dan tidak pernah merasa cukup.
Mental Miskin Terbentuk dari Sistem Sekuler
Diakui atau tidak, mental miskin yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat saat ini karena dipengaruhi oleh sistem sekuler kapitalisme.
Sekularisme yakni sebuah paham yang memisahkan aturan agama dari kehidupan menjadikan manusia bebas bersikap dan bertingkah laku tanpa memperhatikan rambu-rambu syari’at.
Termasuk kaitannya dengan kasus di atas. Ada sebuah hadits yang berbunyi: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. (HR. Bukhori Muslim).
Dari hadits di atas, sangat jelas. Jika masing-masing orang memiliki pemahaman yang sama mengenai hadits tersebut, niscaya akan memiliki mental kaya.
Bagi yang berlebih tidak akan berat hati jika harus berbagi. Demikian sebaliknya, bagi yang diberikan ujian berupa kesempitan ekonomi juga tidak akan mengemis untuk mendapatkan bantuan atau semisalnya.
Namun, lagi-lagi paradigma kapitalisme, yakni sebuah paham yang mendewakan materi duniawi sebagai tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan. Maka secara tidak langsung, orang akan merasa terhormat dan mulia dengan memiliki materi yang berlimpah. Sehingga akan merasa enggan untuk mengeluarkan.
Di samping itu, paradigma kapitalisme memandang bahwa segala sesuatu itu dilihat dari sisi manfaat atau keuntungan. Jika ada manfaatnya maka akan diambil, jika tidak maka akan dicampakkan.
Termasuk pembuatan konten. Adanya kasus Gus Mif dan penjual es, mungkin juga kasus lain. Akan dimanfaatkan oleh para konten kreator. Di sini tidak bermaksud mendeskreditkan orang-orang yang berbuat kebaikan. Namun lebih mengulik fakta dalam alam kapitalisme.
Kasus seperti Pak Sunhaji yang secara ekonomi bisa dikatakan lemah. Dan itu hanya satu dari sekian banyaknya kasus kemiskinan. Hal-hal demikian tidak jarang akan dimanfaatkan oleh para konten kreator. Misalnya memborong dagangan seorang kakek tua yang sedari pagi tidak laku.
Diakui atau tidak, semua itu dilakukan demi cuan. Mereka akan melakukan hal itu karena ada manfaat dan keuntungannya. Katakan dia harus mengeluarkan 100.000, tidak merasa rugi. Mengapa? Jika konten yang dibuat itu mendapatkan viewer yang banyak, jelas ini sangat menggiurkan. Fenomena tersebut akan terus tumbuh subur dalam sistem rusak dan merusak buatan manusia yakni sekuler kapitalisme.
Kepemimpinan dalam Islam
Fenomena mental miskin dan kemiskinan ini tidak akan terjadi jika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Karena, kepemimpinan dalam Islam adalah mengurusi urusan rakyatnya (riayah syuunil ummah). Karena mereka menyadari bahwa setiap amanah di pundaknya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi Allah Swt. Mereka takut jika menelantarkan rakyatnya.
Namun, ini hari kepemimpinan Islam itu tidak ada lagi. Umat Islam mengalami keterpurukan bahkan kehancuran. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita bersama untuk terus menyadarkan kepada umat bahwa hanya dalam kepemimpinan Islam umat itu terjaga dan terlindungi.
Wallahu a’lam bisshawab.*