Demi Rakyat, Katanya..

Ilustrasi artikel Ahmadie Thaha tentang pesta politisi di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

SENTUL malam itu bak festival warna kuning. Bendera dan umbul-umbul serba kuning berkibar di sepanjang jalan, memastikan ini acara ulang tahun ke-60 Golkar, bukan promo cat tembok. Malam itu, para petinggi partai politik berkumpul, seolah pesta di Gedung DPR/MPR Senayan pindah sementara ke Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat.

Di tengah gemerlap itu, Prabowo Subianto, sang orator flamboyan, naik ke podium. Dengan gaya khasnya yang blak-blakan tapi kerap memancing tawa meskipun tanpa tari gemoy, ia melontarkan kritik tajam terhadap sistem pemilu di Indonesia. “Konsultan asing mungkin usul Pilkada tiap tiga bulan!” ujarnya, mengundang gelak tawa hadirin. Namun, di balik lelucon itu terselip pertanyaan serius: demokrasi kita ini sebenarnya untuk siapa?

Prabowo, yang kini menjabat Presiden RI ke-8, tampaknya mulai gerah melihat anggaran negara yang terus membengkak. Pemilu langsung, katanya, seperti pesta besar yang menguras kocek namun meninggalkan rasa lapar, rakyat kurang gizi, stunting menyergap hampir seluruh anak bangsa yang baru lahir. Ia pun menawarkan solusi: kembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD saja.

Pernyataan itu segera mendapat tanggapan serius. Golkar, melalui ketua umumnya Bahlil Lahadalia, mendukung diskusi lebih lanjut. Menteri Dalam Negeri langsung menyatakan setuju, sementara dua menteri bidang hukum menyebut wacana itu masih dalam kajian.

“Pemilihan langsung tidak selalu wajib,” kata Mendagri. Dalam UUD, katanya, hanya disebut “dipilih secara demokratis,” bukan selalu melalui pemilu langsung. Namun, keputusan masih jauh. “Tunggu kajian,” kata Menteri Hukum. Ah, kata sakti itu lagi. Kajian, seperti biasa, adalah langkah pertama menuju ketidakpastian.

Namun, mari beri kredit kecil untuk pemerintah atas wacana mereka. Setidaknya kini kita punya catatan, mereka telah mengakui kelemahan pilkada langsung: biaya besar, politik uang, dan politik balas budi. Tapi, kita semua pasti sepakat, solusinya bukan mengambil jalan pintas dengan menggembok partisipasi rakyat.

Mungkin untuk meyakinkan, dalam pidatonya, Prabowo mengacu pada sistem pemilu di tiga negara tetangga Malaysia, Singapura, hingga India. Singapura, katanya, tidak membutuhkan Pilkada langsung. Tapi tunggu dulu, Singapura hanyalah negara kota seukuran Jakarta dengan populasi kurang dari 6 juta. Sistemnya memang efisien, tetapi apakah partisipasi publiknya juga terjamin?

Malaysia menawarkan model yang sedikit lebih relevan. Kepala daerah dipilih oleh parlemen negara bagian, bukan rakyat langsung. Hemat? Jelas. Tapi apakah risiko oligarki tidak lebih besar? Tentu saja. Jangan sampai demokrasi kita berubah menjadi permainan elite semata. Lagi pula, sistem pemerintahan Malaysia beda dari kita.

India, raksasa demokrasi dengan 1,4 miliar penduduk, menggunakan mesin pemilu elektronik dan melaksanakan pemilu serentak dalam beberapa tahap. Hemat? Ya. Tapi bayangkan kekacauan logistik jika Indonesia mencoba hal serupa, di mana distribusi sembako saja bisa tersendat di tengah laut. Mesin pemilu elektronik India perlu kita kaji lebih serius, mengapa di sana bisa, sementara di sini selalu ditolak.

Kembali ke realitas lokal, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD sejatinya bukanlah ide baru. Pada 2014, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), DPR sempat menyetujui RUU yang mengubah mekanisme pemilihan langsung menjadi lewat DPRD. Alasan utamanya sama seperti yang disampaikan Prabowo: Mengurangi biaya politik yang dinilai terlalu mahal.

Namun, Presiden SBY membatalkan UU itu dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti UU (Perppu). Hemat biaya bukan berarti hemat masalah. Pilkada oleh DPRD justru dapat memperkuat oligarki politik. Mekanisme tertutup yang didominasi elite akan meminggirkan tokoh independen. Politik uang? Jangan berharap hilang. Jika sebelumnya uang mengalir ke rakyat, kini uang akan langsung dialamatkan ke meja-meja DPRD.

Sebuah spanduk pernah dipasang di depan Gedung DPR: “Dijual Tanpa Perantara: Rumah Rakyat. Langsung Hubungi Rakyat.” Itu aksi protes tahun 2014 yang nyaris menjadi ramalan. Jika pilkada kembali ke DPRD, rumah rakyat berikut isinya benar-benar akan bisa dibeli oleh para taipan oligarki tanpa perantara. Langsung elite ke elite. Rakyat? Tinggal jadi penonton.

Demokrasi, meski mahal, memang betul bukan untuk dijual. Demokrasi hemat ala Prabowo mungkin menghemat anggaran, tetapi dengan risiko besar: mengorbankan hak rakyat untuk memilih. Kita harus bertanya: apakah ini langkah maju atau sekadar nostalgia era lampau dengan sedikit kosmetik baru?

Ide Prabowo menimbulkan banyak pertanyaan lain. Mahal yang mana? Apakah hanya biaya Pilkada yang dipersoalkan? Bagaimana dengan Pilpres dan Pileg yang juga memakan biaya besar? Pemilu 2024 menghabiskan Rp71,3 triliun, sementara Pemilu 2019 menelan Rp25,59 triliun. Kampanye kandidat bahkan bisa mencapai ratusan miliar.

Jika mahalnya pemilu adalah masalah, mengapa reformasi ini tidak berlaku untuk semua tingkatan? Apakah ada alasan strategis seperti mengurangi independensi kepala daerah? Pertanyaan lebih substantif, apa yang dimaksud dengan “murah”? Apakah hanya anggaran negara atau juga biaya politik kandidat?

Kita sudah mengalami, pemilihan melalui DPRD berisiko memperkuat oligarki. Bukankah sejarah menunjukkan transaksi politik di DPRD sering kali gelap? Jadi apa solusinya? Daripada mundur ke sistem lama, mengapa tidak memperbaiki sistem saat ini? Misalnya, menekan biaya kampanye dengan regulasi yang ketat dan meningkatkan pendidikan politik.

Prabowo, sebagai tokoh yang memosisikan diri sebagai “penyelamat bangsa,” tampaknya perlu menawarkan gagasan yang lebih matang. Demokrasi memang mahal, tapi itu harga untuk kebebasan dan keadilan. Daripada mengeluhkan mahalnya pemilu, mari bercermin: apakah kita sudah memanfaatkan demokrasi ini dengan benar, atau justru terus mengulang kesalahan?

Yang pasti, rakyat tidak butuh pidato jenaka atau janji kajian. Rakyat butuh sistem transparan, terjangkau, dan benar-benar melibatkan mereka. Hingga saat itu tiba, demokrasi kita tetaplah proyek setengah jadi: mahal, rumit, dan katanya untuk rakyat.*

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 17/12/2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995