Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
DI SEBUAH hotel bintang lima di jantung kota Jakarta, para ulama dari 72 ormas yang bernaung di bawah tenda besar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berkumpul rakornas. Tepat Rakornas IV MUI. Berbalut kopiah hitam, dengan wajah serius tapi santai, mereka duduk dalam ruangan ber-AC, berdiskusi tentang kondisi negeri.
Suasana formal yang diselingi canda ringan itu menggambarkan bahwa di balik diskusi serius, ada optimisme yang menyegarkan seperti teh manis di tengah panasnya kemacetan Jakarta. Setelah tiga hari penuh bermusyawarah, hasilnya antara lain lahir dalam bentuk taujihat 12 poin. Sebuah taujih singkat bagi pemerintahan Prabowo Subianto.
Arahan ulama cukup tajam, penuh pesan spiritual dan pragmatis. Salah satu poinnya adalah apresiasi para ulama terhadap Asta Cita, delapan visi misi besar Presiden. Namun, seperti biasa, pujian ini datang dengan catatan tebal: “Lakukan dengan istiqamah!” Karena visi sebesar apa pun, jika hanya berhenti di papan reklame, tak ubahnya janji kampanye yang tak pernah jadi kenyataan. Persis banyak terjadi di era Jokowi.
Rakyat masih ingat proyek Food Estate di pemerintahan sebelum ini. Digadang-gadang sebagai solusi ketahanan pangan, sebagian lahan proyek justru menjadi gurun kecil akibat perencanaan asal-asalan. Jangan lupa IKN, tak sedikit masalahnya. Para ulama mengingatkan, jangan sampai Asta Cita bernasib serupa, apalagi jika kita benar-benar ingin mencapai Era Emas 2045, bukan sekadar slogan tanpa aksi nyata.
Dalam konteks leadership, para ulama menekankan pentingnya pemimpin yang dekat dengan rakyat. Mereka mengutip istilah klasik, “Tasharruful imam ‘alar ra’iyah manuthun bil mashlahah” —bahwa keputusan pemimpin harus manut atau berorientasi pada maslahat rakyat. Tetapi, bagaimana maslahat bisa tercapai jika kebijakan seperti kenaikan PPN menjadi 12% justru menambah beban rakyat kecil?
Ironi seperti ini seringkali menjadi kisah yang berulang. Rakyat bersorak saat jalan tol baru diresmikan, tapi diam-diam menangis saat tarifnya melonjak tak terkendali atau hanya bisa mengelus dada mengingat tanah mereka untuk tol itu dibeli dengan harga murah. Mendengarkan rakyat bukanlah sekadar basa-basi saat kunjungan kerja, melainkan kewajiban tulus untuk memahami kebutuhan mereka.
Dalam soal keadilan, ulama mengingatkan pejabat negara agar benar-benar menjadi penjaga Pancasila, termasuk adil di urusan HAM. Amanat ini terdengar sederhana, namun di podium-podium megah, keadilan sering hanya jadi retorika kosong. Contoh nyata: kasus agraria di Pulau Rempang Batam, di mana rakyat kecil digusur demi investasi, sementara pejabat berbicara lantang tentang “keadilan sosial.”
Dan kalau ada isu yang pantas disebut “darurat nasional,” itulah korupsi. Ironisnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru terlihat seperti macan ompong di tengah sorotan tajam. Kasus demi kasus, dari bansos hingga suap pajak, menjadi tontonan rutin rakyat. MUI meminta Presiden Prabowo untuk memimpin langsung pemberantasan korupsi, bukan sekadar menonton dari kursi empuk istana.
Selain itu, pilkada langsung pun turut menjadi sorotan para ulama yang mencatatnya pakai tinta merah muda. Dengan biaya yang mahal, hasilnya sering tak sepadan. Kasus money politics yang terus terulang membuat ulama mengusulkan kajian ulang sistem ini. Bukankah lebih baik memilih pemimpin berdasarkan kapasitas dan akhlaknya, ketimbang amplop yang dibagikan menjelang hari pemilihan?
Sorotan lain para ulama adalah soal kesehatan bangsa. Sebanyak 25% anak-anak tidak mendapatkan makanan halal dan thayyib. Ide makan bergizi gratis, yang dicanangkan Presiden Prabowo, tentu baik sekali. Tapi, ulama mengingatkan: jangan hanya ramai saat kampanye. Lihat data stunting yang masih tinggi di berbagai daerah miskin. Jangan sampai program makan bergizi berubah menjadi nasi goreng gratis saat kunjungan presiden, lalu kembali ke mi instan keesokan harinya.
Pada akhirnya, para ulama juga menyoroti ekonomi syariah, salah satu pilar Asta Cita. Mereka berharap ekonomi ini tidak sekadar menjadi “baju baru kapitalisme.” Sebagian lembaga keuangan syariah menawarkan layanan berbasis akad, tapi membebankan bunga tinggi dengan nama lain. Ulama meminta pemerintah bekerja sama dengan MUI untuk memastikan prinsip syariah benar-benar diterapkan, bukan hanya untuk gaya.
Di akhir pertemuan, para ulama mengingatkan agar taujihat ini tak hanya dijadikan dokumen untuk arsip, tetapi pesan tegas kepada para pemimpin. Kita percaya, di tengah hujan deras persoalan negeri, masih ada doa tulus di setiap sujud para ulama: semoga Indonesia benar-benar melangkah menuju era emas, bukan sekadar mimpi indah yang terus terulang di atas kertas.*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 20/12/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995