Wacana Pemberian Maaf Bagi Koruptor Dinilai Berbahaya dan Bertentangan dengan UU

Sebuah mural bertuliskan “Saya Bangga Punya Tiga Rumah Mewah (Kiri), Saya Bangga Punya Lima Mobil Mewah (C), Saya Bangga Tidak Melakukan Korupsi”, di dinding sebuah jalan di Jakarta pada tanggal 18 November 2009 .(Foto: AFP/Adek Berry)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa para koruptor dapat dimaafkan asalkan mengembalikan uang hasil kejahatan kepada negara, baik secara terbuka maupun diam-diam. Hal ini disampaikan dalam pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

“Hai para koruptor, atau yang merasa pernah mencuri uang rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong!” ujar Presiden Prabowo.

Ia juga mengingatkan para pemangku kepentingan yang mendapatkan fasilitas negara untuk menjalankan kewajiban sesuai hukum. Presiden menegaskan bahwa ia tidak akan ragu mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran.

Kritik dari Pakar Hukum

Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (PUKAT) UGM, Zainur Rohman, mengkritik pernyataan tersebut, menyebutnya berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam pasal 4 UU Tipikor ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana, sehingga pelaku tetap harus diproses hukum meski telah mengembalikan hasil korupsi.

“Pengembalian uang negara dapat menjadi alasan untuk meringankan sanksi hukum, tetapi tidak menghapus kewajiban penuntutan terhadap pelaku,” kata Zainur. Ia menambahkan bahwa pemberantasan korupsi yang efektif memerlukan kerja sama antara penegak hukum dan penggunaan instrumen hukum, bukan hanya imbauan moral.

Bahaya Impunitas

Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menilai wacana tersebut dapat merongrong supremasi hukum. Alvin menyebut sistem hukum Indonesia tidak mengenal amnesti bagi koruptor, sehingga pernyataan Presiden Prabowo dianggap bertentangan dengan prinsip penegakan hukum.

Negara-negara dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tinggi, menurut Alvin, justru memaksimalkan hukuman pidana badan dan perampasan aset. “Langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan investor karena menciptakan kepastian hukum,” tegas Alvin.

Ia juga mengingatkan potensi penyalahgunaan wacana ini untuk kepentingan politik, yang dapat mendorong budaya impunitas. “Wacana ini seharusnya disertai langkah konkret seperti amandemen UU Perampasan Aset agar tidak kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi,” pungkas Alvin.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah