Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
KETIKA rombongan masyayikh pesantren bersilaturahim ke kampus hijau nan ilmiah IPB, terbayanglah sebuah revolusi di balik peci dan sarung. Pertemuan dengan Rektor IPB membuka lembaran baru —kerjasama di bidang pendidikan, sains, dan pengembangan ekonomi pesantren. Salah satu topik menarik yang mereka kerjasamakan tak lain STEM, atau mungkin lebih jauh lagi, STREAM.
Rombongan kyai yang tergabung dalam Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia (P2i), dipimpin oleh sang “Presiden” Kyai Tata Taufik, itu merancang STEM masuk lebih dalam ke pesantren. Ya, Anda tahu, STEM adalah singkatan dari Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Konsep pendidikan ini bertujuan mencetak lulusan yang siap menghadapi dunia teknologi modern.
Versi lebih artistik dari STEM adalah STEAM, di mana “A” melambangkan Arts —sebuah usaha mengimbangi otak kiri dan kanan. Namun, untuk pesantren, tentu yang lebih cocok adalah STREAM, yaitu STEAM ditambah “R” (Religion). Bayangkan, santri tak hanya menguasai ilmu agama tapi juga sains, teknologi, seni, hingga keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills atau HOTS).
Sayangnya, hingga saat ini baru sebagian pesantren yang menerapkan model pembelajaran ala STEM, apalagi STREAM. Padahal, bayangkan kemungkinan yang terjadi jika pesantren benar-benar mengadopsi pendekatan ini. Ngaji kitab kuning yang berjilid-jilid, yang biasanya memeras otak untuk memahami bahasa Arab gundul, digabungkan dengan pembelajaran robotika dan kecerdasan buatan dalam bahasa Inggris.
Jika itu terjadi, pesantren bukan lagi sekadar pencetak ulama. Mereka akan menjadi pusat lahirnya Ibnu Khaldun baru yang paham ilmu sosial modern, Khawarizmi baru yang menciptakan algoritma masa depan, atau Al-Biruni era digital yang menulis traktat tentang bintang sekaligus teknologi blockchain. Santri bukan hanya menghafal Shahih Bukhari, tapi juga bisa merancang program kecerdasan buatan yang mampu memahami teks-teks kuno.
Namun, jangan lupakan esensi pesantren. Di tengah semangat berpikir kritis dan logis, Allah Swt tetap menjadi poros utama. Pendidikan STREAM di pesantren akan memastikan bahwa santri tidak hanya berpikir out of the box, tetapi juga in the divine box. Berpikir tingkat tinggi (HOTS) tidak harus membuat mereka lupa bahwa segala ilmu berasal dari Sang Maha Ilmu.
Sekjen P2i, K.H. Anang Rikza Masyhadi, M.A., Ph.D., menggarisbawahi perlunya skema beasiswa khusus agar kader-kader pesantren bisa melanjutkan studi di kampus-kampus unggulan seperti IPB. Dengan begitu, kaderisasi di pesantren dapat berlangsung lebih terstruktur. Jika langkah ini diwujudkan, bukan tidak mungkin pesantren akan melahirkan generasi ulama intelektual yang mampu berkontribusi dalam ilmu pengetahuan global.
Betapa tidak. STEM yang dipakai IPB, mungkin juga STREAM, bukan hanya soal penguasaan sains dan teknologi. STREAM adalah pendekatan yang menyatukan ilmu dunia dan akhirat, menjadikan santri sebagai individu yang multidimensional. Mereka bisa menjadi ahli fiqih yang juga paham bioteknologi, atau ahli tafsir yang juga memahami revolusi industri 4.0.
Salah satu tantangan terbesar, bagaimana memadukan pembelajaran agama dan ilmu pengetahuan umum. Untuk itu, pendekatan kurikulum yang integratif menjadi kunci. Misalnya, pelajaran tafsir bisa diintegrasikan dengan kajian sains tentang alam semesta. Pelajaran fiqih muamalah bisa dikaitkan dengan studi ekonomi syariah modern. Dengan demikian, pesantren tak hanya mencetak generasi yang paham agama, tetapi juga kompeten dalam menghadapi tantangan zaman.
Setelah pertemuan dengan Rektor IPB, para kyai melanjutkan diskusi dengan Dekan School of Business IPB. Topik utamanya, peluang pengembangan unit-unit usaha ekonomi pesantren. Bayangkan jika pesantren mengadopsi teknologi pertanian IPB. Santri yang biasa memelihara ikan lele kini bisa belajar aquaponik, atau bagaimana menghasilkan ikan dan sayuran dalam satu sistem.
Lebih jauh lagi, mungkin pesantren akan memiliki program studi baru: Tafsir Artificial Intelligence, Jurusan Bioteknologi Halal, atau Teknik Sipil Syariah.
Kunjungan masyayikh ke IPB hanyalah awal dari revolusi pendidikan pesantren. Mereka tak ingin pesantren menjadi institusi mandeg. Mereka paham, model pembelajaran STREAM sudah tersedia lama, menjadi peluang besar bagi pesantren untuk menjadi pusat peradaban baru, seperti masa keemasan Islam di era Al-Andalus.
Namun, tentu semuanya membutuhkan komitmen, baik dari pesantren maupun pemerintah. Jadi, akankah kita menyaksikan pesantren sebagai pusat sains dan teknologi berbasis spiritual? Kita tunggu saja. Sebab, seperti kata pepatah, “Di balik sarung, ada masa depan.” *
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 25/12/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995