JAKARTA, KOMPAS – Tahun 2024 menjadi tahun penuh tantangan bagi pekerja dan buruh di Indonesia. Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terus menghantui berbagai sektor industri. Hal ini disampaikan oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, SE, dalam pernyataan tertulisnya pada penghujung tahun, Selasa (31/12/2024).
“Sepanjang 2024, PHK massal masih menjadi ancaman besar bagi pekerja Indonesia, terutama di sektor industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki, serta otomotif, telekomunikasi, dan perbankan,” ujar Mirah.
Mirah menyebut salah satu penyebab utama PHK massal adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Peraturan ini dinilai memperburuk kondisi industri lokal dengan membanjirkan barang impor yang lebih murah dibandingkan produk dalam negeri. Akibatnya, banyak perusahaan lokal gulung tikar karena kalah bersaing, dan ribuan buruh kehilangan pekerjaan.
Dampak dari PHK massal tak hanya dirasakan oleh industri besar, tetapi juga menyasar pedagang tradisional dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Beberapa pasar besar seperti Tanah Abang di Jakarta, Pasar Kliwon di Kudus, dan pasar tradisional di Surabaya kini sepi pembeli, yang berujung pada penutupan usaha dan PHK pekerja di sektor UMKM.
Mirah juga menyoroti maraknya penjualan produk impor murah melalui aplikasi daring yang diduga berasal dari luar negeri, terutama Tiongkok. “Pemerintah harus segera membuat regulasi untuk melindungi produk lokal dari serbuan barang impor yang dijual bebas secara online,” tegasnya.
Selain itu, kerusakan rantai distribusi turut memperburuk kondisi. Distributor yang seharusnya melayani pelaku usaha kecil kini menjual langsung ke konsumen, membuat pelaku UMKM semakin terpinggirkan. Mirah meminta pemerintah segera mengatur jalur distribusi agar UMKM dapat kembali bertahan.
Soroti Regulasi dan Kenaikan PPN
Mirah mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang melindungi industri domestik. Ia juga mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang memberikan angin segar bagi buruh terkait pengupahan, mekanisme PHK, dan hubungan kerja waktu tertentu.
Di sisi lain, meski mengapresiasi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto, Mirah menilai angka tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Efek domino berupa kenaikan harga barang dan jasa dinilai akan memperberat beban buruh.
“Untuk meminimalisir dampak kenaikan UMP, pemerintah harus menurunkan harga pangan hingga 20 persen,” ujar Mirah. Ia juga mengkritik rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025, yang disebutnya akan mengurangi manfaat kenaikan UMP tersebut.
Menutup pernyataannya, Mirah berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera mengeluarkan kebijakan yang melindungi pekerja, buruh, pelaku UMKM, dan pengusaha. “Pemerintah harus memastikan kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha lokal di tengah tantangan global,” pungkasnya.
Editor: Agung