J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Gugatan terhadap ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen sudah berulang kali kandas di tangan hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, di awal tahun 2025, nasib gugatan presidential threshold berbeda.
Sebagaimana diketahui, upaya untuk menggugat ambang batas presidential threshold minimal 20 persen sudah dilakukan sejak lama. Memangnya apa yang dimaksud dengan presidential threshold 20% itu?
Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) disebutkan sebagai berikut:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Beragam gugatan pun dilayangkan ke MK agar ambang batas presiden ini dihapus. Argumen pemohon pun beragam. Berkali-kali gugatan ini kandas di tangah hakim MK.
Namun, di awal tahun 2025 ini MK memberikan kejutan. Ambang batas presiden dihapus.
Lantas, bagaimana riwayat gugatan presidential threshold hingga akhirnya dihapus?
Digugat Sebanyak 36 Kali
Presidential threshold ini sudah berulang kali digugat. Ada 36 kali gugatan dilayangkan ke MK agar presidential threshold ini dihapus.
Tercatat, gugatan terhadap Pasal 222 ini sudah dilakukan sejak tahun 2017. Misalnya, lewat perkara nomor 44/PUU-XV/2017. Alasan permohonan yaitu Pasal 222 sebagai pintu masuk kartel politik.
Selain itu, baik syarat capres/cawapres dan tata cara pemilihan presiden dalam UUD 1945 tidak mengatur syarat threshold dan UUD 1945 tidak mendelegasikan UU untuk mengatur syarat threshold. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Selanjutnya, gugatan dilakukan lagi lewat perkara Nomor 53/PUU-XV/2017. Alasan pemohon hasil Pileg 2014 sebagai syarat pengajuan capres/cawapres 2019 telah mencampuradukkan suara pemilih. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Masih di tahun 2017, ada empat gugatan lagi yang ingin menghapus ambang batas presiden ini. Namun semuanya ditolak.
Gugatan terhadap ambang batas presiden ini terus berlanjut pada tahun 2018. Setidaknya ada enam gugatan yang dilayangkan dengan berbagai alasan pemohon. Semua gugatan lagi-lagi ditolak.
Upaya untuk menghapus ambang batas ini diteruskan pada tahun 2020. Salah satu pengugatnya yakni Rizal Ramli. Dia mengugat lewat perkara Nomor 74/PUUXVIII/2020, alasan judicial review secara post factum (inconcreto) Pemilihan Presiden 2019 telah menyebabkan hilangnya hak konstitusional (constitutional rights) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) dalam mengusulkan pasangan calon presiden. Hasilnya MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima.
Tak berhenti di situ. Gugatan juga pernah dilakukan pada tahun 2022 lewat perkara Nomor 73/PUUXX/2022. Namun, MK menolak. MK bahwa menegaskan bahwa ambang batas presiden adalah open legal policy yakni kewenangan pembentuk UU. Kemudian, pada tahun 2023, upaya untuk menghapus ambang batas presiden masih dilakukan. Ada dua gugatan yang dilayangkan ke MK pada tahun 2023. Namun, MK kembali menolak gugatan tersebut.
MK Hapus Ambang Batas Presiden
Setelah berkali-kali menolak gugatan terkait penghapusan ambang batas presiden, kini baru MK menerimanya. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.
“Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest),” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Saldi mengatakan adanya kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pilpres hanya terdapat dua pasangan calon, jika terus mempertahankan ketentuan ambang batas dalam pengusulan pasangan calon. Padahal, kata dia, pengalaman Pilpres dengan dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.
“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” ujar dia.
“Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong,” sambungnya.
Saldi menyampaikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik, sepanjang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu. Saldi pun menyampaikan usai lima kali Pilpres digelar, MK telah cukup menyatakan ambang batas sebagai syarat mengusulkan pasangan calon.
“Terlebih terdapat pula fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden,” paparnya.
MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon, maka dapat dikenakan sanksi larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.
“Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional,” tuturnya.
“Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” imbuh Saldi.
Anwar Usman dan Daniel Yusmic Dissenting Opinion
Putusan ini juga diwarnai dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim. Dua hakim yang berbeda pendapat itu ialah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
Anwar Usman dan Daniel menilai pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah dimohonkan sebanyak 33 kali. Menurutnya, MK telah menegaskan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian ialah partai politik peserta pemilu, dan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.
Anwar Usman dan Daniel berpandangan, untuk menentukan pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak, pemohon harus menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu undang-undang.
Menurut dia, pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bukan berarti norma a quo ‘kebal’ (immune) untuk diuji, melainkan lantaran tidak ada kerugian konstitusional pemohon.
“Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” tuturnya.
Sumber: detik.com
Editor: Agung