Gadis yang Hilang: Film Pertanian Organik

Ilustrasi artikel Ahmadie Thaha tentang film pertanian. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT

AKHIR pekan ini, saya menghabiskan dua jam menonton karya Aamir Khan, produser India yang dikenal atas pilihannya pada film-film berbasis konten bermakna. Benar saja, Laapataa Ladies, yang disutradarai Kiran Rao, adalah kombinasi sempurna antara pesan sosial yang mendalam dan humor cerdas.

Film Laapataa Ladies (Gadis yang Hilang) ini bukan hanya untuk ditonton, tapi juga untuk direnungkan. Ia mampu menyentuh hati sekaligus memancing tawa. Sebuah karya yang menggugah kesadaran namun tetap menghibur. Menariknya, pesan yang diusungnya sejalan dengan minat saya pada pertanian organik. Ya, film ini menyinggung program yang turut digaungkan oleh Prabowo Subianto.

Pesan kehilangan pada Laapataa Ladies  begitu nyata. Ia menggambarkan bagaimana sistem patriarki dan pertanian konvensional merampas hak-hak dasar perempuan dan bumi kita. Dengan gaya satiris dan humoris, film ini mengangkat dua isu penting: emansipasi perempuan dan pertanian organik. Jarang ada film dengan pesan sekuat ini.

Melalui cerita yang sederhana namun penuh kejutan, film ini mengkritisi dua isu tersebut sembari menyisipkan candaan tentang rumitnya menjadi perempuan dalam dunia patriarkal serta tantangan bertani organik di tengah dominasi pupuk kimia. Film ini simbol bahwa perempuan bukan hanya “ladang” untuk ditanam, tapi juga menanam.

Kisahnya dimulai dengan kekacauan di stasiun kereta pedesaan India. Dua pasangan pengantin baru, yang mengenakan pakaian tradisional serupa, turun dari kereta yang sama, di stasiun berbeda. Karena buru-buru, sesak, kebingungan dan kurangnya komunikasi, terjadi pertukaran pasangan.

Phool Kumari (diperankan Nitanshi Goel), gadis desa polos penuh mimpi, turun dari kereta pertama kali, tiba-tiba mendapati dirinya bersama suami yang bukan miliknya. Sementara itu, Pushpa Rani (Pratibha Ratna), perempuan modern yang membawa buku tentang pertanian organik, terdampar di rumah suami yang salah lainnya.

Phool, meski awalnya panik dan bingung, perlahan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Pengalaman memasaknya ternyata tak sia-sia, mengisi waktunya di kafe kecil stasiun yang menjadi tempatnya berlindung, sekaligus sekolah singkat tentang komunikasi, dunia yang kacau, dan pentingnya kemandirian.

Di sisi lain, Pushpa memanfaatkan kesempatan untuk memperkenalkan praktik pertanian organik kepada keluarga barunya yang skeptis. Adegan-adegan lucu bermunculan ketika Pushpa mencoba meyakinkan bahwa pupuk kompos bukanlah “sampah”, melainkan “emas untuk tanah”.

Selain Pratibha Ratna dan Nitanshi Goel, film ini juga diperkuat oleh Sparsh Shrivastav sebagai Deepak dan Ravi Kishan sebagai Daroga Manoharji. Chhaya Kadam dan Geeta Agarwal turut memberikan performa kuat sebagai pendukung cerita. Adegan di kantor polisi membuat alur cerita tak mudah ditebak.

Laapataa Ladies dengan cerdas mengkritik budaya patriarki yang mengakar kuat. Di India, perempuan sering dianggap “penjaga tradisi”, sementara di Indonesia, mereka diharapkan menjadi sosok sempurna yang “masak, bersih-bersih, dan tersenyum manis”. Film ini menertawakan absurditas tersebut, menunjukkan bagaimana perempuan menemukan kebebasan di ladang, bukan di dapur.

Pendidikan perempuan juga menjadi sorotan. Salah satu adegan paling lucu adalah ketika seorang karakter berkata, “Kalau perempuan bisa menghitung beras untuk masak, kenapa tidak bisa menghitung keuntungan dari bertani?” Ini sindiran tajam bagi mereka yang meremehkan kemampuan perempuan dalam mengelola bisnis, termasuk pertanian.

Selain emansipasi perempuan, Laapataa Ladies juga menyoroti isu pertanian organik. Film ini menggambarkan perempuan yang beralih dari pertanian konvensional yang merusak tanah ke praktik organik yang lebih ramah lingkungan. Adegan mereka mempromosikan pupuk kompos sebagai “kosmetik untuk tanah” menjadi salah satu momen paling jenaka sekaligus inspiratif.

Kritik juga diarahkan pada pemerintah dan perusahaan agrokimia. Dalam salah satu adegan satir, seorang salesman pupuk kimia mencoba meyakinkan para perempuan bahwa “tanah butuh suntikan vitamin”, namun mereka justru bertanya balik, “Kalau tanah disuntik terus, apa tidak kecanduan?”

Kejeniusan Laapataa Ladies terlihat dalam penggunaan situasi kacau akibat pertukaran istri sebagai metafora perubahan sosial. Kedua perempuan dipaksa keluar dari zona nyaman mereka dan menemukan potensi terpendam.

Pushpa, dengan buku organiknya, menjadi simbol inovasi untuk mengubah sistem pertanian yang merusak. Sementara Phool, yang awalnya hanya “seorang istri”, membuktikan bahwa perempuan mampu menjadi agen perubahan, baik di rumah maupun di ladang.

Film ini mengingatkan bahwa perubahan dimulai dari langkah kecil, baik perempuan yang beralih dari dapur ke ladang, maupun petani yang mengganti pupuk kimia dengan kompos. Seperti kata Pushpa dalam film, “Kalau kita bisa menanam padi, kenapa tidak bisa menanam perubahan?”

Laapataa Ladies bukan hanya film “India’s official entry” ke Oscars 2025 yang layak ditonton seluruh anggota keluarga, tapi panggilan untuk bertindak. Jangan biarkan perempuan dan bumi kita “hilang” karena keserakahan dan ketidakpedulian. Emansipasi perempuan dan pertanian organik bisa jadi kunci masa depan yang lebih baik.*

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 5/1/2025

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995