J5NEWSROOM.COM, Praktik sharenting, atau membagikan konten mengenai anak-anak di media sosial, telah menjadi tren di kalangan orang tua modern. Hal ini sering dilakukan dengan tujuan berbagi kebahagiaan, membanggakan prestasi anak, atau sekadar mengabadikan momen berharga di ruang digital.
Namun, di balik niat baik tersebut, terdapat risiko yang dapat mengancam privasi dan keselamatan anak, baik secara langsung maupun di masa depan. Sharenting yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai masalah, mulai dari pelanggaran privasi, eksploitasi anak, hingga potensi ancaman terhadap keamanan mereka. Jejak digital yang ditinggalkan orang tua melalui unggahan di media sosial bersifat permanen dan sulit dihapus, sehingga apa yang dianggap lucu atau membanggakan saat ini bisa menjadi sumber ketidaknyamanan atau bahkan bahaya di masa mendatang.
Beberapa kasus menunjukkan bagaimana unggahan yang tampaknya tidak berbahaya, seperti foto anak yang lucu atau momen keseharian mereka, dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penjahat digital, seperti pedofil, dapat mengambil gambar tersebut untuk tujuan eksploitasi, sementara informasi lokasi atau aktivitas yang terungkap dalam unggahan dapat digunakan untuk kejahatan lainnya, seperti penculikan atau perdagangan manusia. Bahkan, jejak digital anak yang buruk dapat berdampak pada peluang karier atau reputasi mereka di masa depan, terutama jika unggahan itu diakses oleh pihak yang memiliki niat jahat. Misalnya, foto masa kecil yang memalukan bisa dimanfaatkan dalam kampanye politik untuk menjatuhkan seseorang, atau komentar negatif tentang anak dapat menciptakan trauma psikologis saat mereka dewasa.
Selain itu, kurangnya kesadaran orang tua tentang batasan privasi anak menjadi masalah utama dalam praktik sharenting. Banyak orang tua yang merasa memiliki hak penuh terhadap anak-anak mereka, termasuk dalam hal membagikan informasi di ruang publik, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap anak. Padahal, anak-anak, meskipun berada di bawah perlindungan orang tua, tetap memiliki hak atas privasi mereka sendiri. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar anak merasa tidak nyaman dengan unggahan tentang diri mereka di media sosial, terutama jika itu dilakukan tanpa persetujuan mereka. Ketidaksenangan ini dapat memicu konflik antara orang tua dan anak, serta merusak hubungan emosional di antara keduanya.
Para pakar dan advokat hak anak menyarankan agar orang tua lebih berhati-hati dalam mempraktikkan sharenting. Langkah-langkah sederhana seperti memahami kebijakan privasi platform media sosial, menggunakan pengaturan privasi yang ketat, dan menghindari membagikan informasi sensitif dapat membantu melindungi anak dari bahaya yang tidak diinginkan. Selain itu, penting untuk berdialog dengan anak, terutama jika mereka sudah cukup dewasa untuk memberikan pendapat. Meminta izin mereka sebelum mempublikasikan konten tentang mereka adalah bentuk penghormatan terhadap hak anak atas privasi dan otonomi diri.
Orang tua juga harus menyadari bahwa peran mereka tidak hanya melindungi anak dari ancaman dunia nyata, tetapi juga dari risiko di ruang digital. Dalam konteks ini, orang tua diharapkan dapat menahan diri dan bijak dalam menentukan apa yang layak untuk dibagikan. Praktik ini tidak hanya melindungi anak dari bahaya yang bersifat langsung, tetapi juga membantu mereka membangun identitas digital yang positif dan sehat. Dengan begitu, niat baik dalam berbagi momen bersama anak di media sosial tidak akan berubah menjadi ancaman yang merugikan kehidupan anak di masa depan.
Editor: Agung