Tragedi Gadis Penjaja Gorengan

Puisi Esai

Oleh Ahmadie Thaha

Hari itu, 6 September 2024,
mendung menyelimuti kaki Gunung Tandikek,
di Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Kuburan itu basah oleh hujan air mata,
seperti tangis langit yang enggan reda.

Ribuan datang dari penjuru negeri,
berkendara motor, mobil, truk, bahkan pesawat,
membawa bunga, harapan, dan doa.

Kuburan Mayangsari, begitu mereka menyebutnya.

Di bawah tumpukan bunga setinggi satu meter,
bersemayam cerita kelam,
tentang seorang gadis penjual gorengan,
yang meninggal dengan cara paling keji.

-000-

Mayangsari, wajah desa itu,
dengan kulit sehalus melati, yang bermekaran di beranda.

Setiap sore ia menyusuri jalan kampung,
membawa tahu goreng, pisang, bakwan.

Ibu yang memasak, ia yang menjual.
Di kepala, bakul bambu itu tertata rapi.

Langit senja mengiringinya.
Daun-daun menggenggam kenangan suaranya,
“Gorengan, gorengan!”
Setiap langkahnya menggubah melodi kehidupan.

Namun hari itu,
senja tidak tenggelam dengan damai,
melainkan menjadi saksi bisu tragedi,
kisah pilu yang tak terperikan.

-000-

Mayang balik dari jualan ketika adzan Maghrib berseru,
memanggil pulang untuk sembahyang.

Namun jalan setapak yang biasa menyambutnya,
kali ini dihantui bayangan gelap.

Seorang pemuda menghadangnya,
seperti tsunami yang menerjang sejarah,
melenyapkan jejaknya dari muka bumi.

Barang gorengan tercecer di jalan desa.
Kerudungnya tersangkut di batu.
Mulutnya disumpal, tubuhnya diseret dua kilometer.

Dan sejauh dua kilometer yang terlukis darah,
ia bertahan dengan doa,
dzikir menjadi suaranya dalam diam.

-000-

Di antara belukar,
keperempuanan Mayang dilucuti,
direnggut sepuasnya, dihabisi semuanya.

Kini ia perahu tanpa dermaga,
tersapu arus nafsu kebinatangan,
birahi angkara murka.

Bintang belum berkedip.
Hanya langit malam yang menyaksikan,
tanpa bisa berkata.

Setelah merenggut sehabis-habisnya,
si biadab mengubur tubuhnya di lubang sampah,
berkalangkan tanah,
bersama serpihan mimpi
dan doa-doa yang terzalimkan.

-000-

Konflik pun berlanjut.
Bukan hanya pada tubuh yang tak lagi bernyawa,
tetapi juga pada hati yang ditinggalkan.

Ayah, ibu, seisi rumah mengkhawatirkan
Mayang yang tak pulang seperti biasa.
Warga membawa lampu dan senter mencarinya.

Sementara di bawah tanah,
Mayang, yang dalam diamnya menyimpan doa,
beristirahat sebagai syahidah,
mungkin memaafkan dunia yang tak melindunginya.

-000-

Namun pemuda itu,
berlari dari satu tempat ke tempat lain,
menembus hutan,
pohon-pohon besar dijadikan persembunyiannya.

Ia lari tiada henti,
bersama kabut yang menyelimuti pikirannya.

Dia ingin melupakan,
tetapi jejak merah di tangannya tak bisa hilang.

Setelah sebelas hari berburu,
anjing melacak jejaknya pada ceceran darah,
pada bau napas yang menempel di dedaunan.

Belasan polisi pun menurunkannya dari atas loteng,
dari rumah kecil di tengah hutan,
disaksikan Sang Penjaga Tandikek yang perkasa.

-000-

Namun apakah keadilan benar-benar tercapai?
Tiada maaf, kata keluarga.
Hukum seberat-beratnya, kata netizen.
Hukum mati saja, kata pembela keadilan.

-000-

Dan Mayang tetap diam di dalam tanah.
Warga terus berdatangan,
dari kejauhan bahkan negeri jiran.
Menjadikan makamnya tempat ziarah,
untuk gadis sang pahlawan kehidupan.

Bunga-bunga yang ditabur tak hanya doa harum,
tapi juga pengingat,
bahwa pemerkosaan bisa terjadi di mana saja,
bahkan di jalan setapak desa yang asri.

Mayang kini simbol,
tentang rapuhnya keamanan,
tentang bagaimana seorang gadis desa,
yang hanya ingin menjual gorengan,
harus menjadi korban dari kebiadaban manusia.

Namanya tak hanya tertulis di nisan,
tetapi juga di hati kita,
sebagai peringatan untuk menjaga,
keluarga dan anak-anak perempuan kita.

-000-

Catatan Kaki:

1. Kisah ini digubah dari kisah nyata peristiwa Nia Kurnia Sari, gadis penjual gorengan, yang pada 6 September 2024 hilang jejaknya. Tubuhnya ditemukan tewas akibat pemerkosaan. Kuburannya menjadi tempat ziarah hingga saat ini.

2. Tragedi ini mencerminkan bahwa kejahatan seksual dapat terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang kita anggap paling aman. Dalam mendidik keluarga dan masyarakat, kita harus terus mengedukasi tentang pentingnya menjaga keselamatan dan melindungi hak asasi setiap individu, terutama perempuan.