Bincang Terorisme-Radikalisme J5NEWSROOM.COM dengan Taufik Andrie – Bagian 3 (Habis)
BATAM, telah menjadi jalur pergerakan alias ‘cross border’ sel-sel jaringan kelompok radikal dan teroris. Buktinya, tidak hanya sekali Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan operasi penangkapan sel-sel jaringan teroris di Batam.
Pada Agustus 2016, Antara News mencatat, Densus 88 membongkar dan menangkap enam terduga teroris kelompok Katibah Gonggong Rebut (KGR) di Batam. Yaitu, GR (31), TS (46), ES (35), Tmz (21), HGY (20), dan MTS (19). Mereka diduga merencanakan serangan ke Singapura dari perairan Batam.
Lalu, pada Desember 2016, Antara News juga mencatat, Densus 88 menangkap seorang terduga teroris berinisial HA alias A di Batam. Dalam penggerebekan tersebut, disita buku panduan teroris, stiker, dan peralatan lain yang terkait dengan aktivitas terorisme.
Kemudian, pada Desember 2021, Detiknews mencatat, Densus 88 kembali menangkap 4 orang terduga teroris yang salah satunya diduga sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) dan menjabat sebagai pimpinan madrasah di Kepri. Mereka itu adalah AR, MS, AS, dan DS ditangkap di Batam. Mereka diduga terlibat dalam kelompok JI dan memiliki peran sebagai pembina serta perekrut anggota baru.
BACA JUGA: Bincang Terorisme – Radikalisme J5NEWSROOM dengan Taufik Andrie – Bagian 2
Dengan data-data tersebut di atas, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Jakarta Taufik Andrie melihat, sudah saatnya Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) memiliki program RAD-PE (Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Bagaimana implementasinya?
Berikut ini hasil wawancara khusus Pemimpin Redaksi J5NEWSROOM.COM, Saibansah Dardani dengan Taufik Andrie di Sarinah Jakarta Pusat, Minggu 15 Desember 2024 lalu. Berikut petikannya:
Setelah melihat data operasi Densus 88 di Batam, apakah Anda melihat sudah waktunya Provinsi Kepri memiliki RAD-PE?
Menurut saya, Kepri wajib punya RAD-PE. Sebagai sebuah rekomendasi, di titik-titik tertentu harus punya RAD-PE. Dasar hukumnya adalah, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
Densus 88 juga pernah menangkap kelompok teroris lokal, dan namanya juga spesifik khas Batam, Khatibah Gonggong Rebus, menurut Anda?
Itulah makanya, ini harus ditulis agar menjadi atensi Pemerintah Provinsi Kepri. Karena harapannya ini menjadi kerja kolektif. Elemen-elemen lain bisa kerja bareng, keroyokan. RAD-PE (Rencana Aksi Daerah-Pencegahan Terorisme) untuk mengantisipasi resiko lokal. Sumber dananya bersumber dari APBD. Karena ini kerja keroyokan, masing-masing dinas bisa mengalokasikan anggaran yang terafiliasi dengan program RAD-PE tersebut, sesuai dengan Tupoksinya masing-masing. Sehingga nanti bisa diinput dalam matriks program RAD-PE. Intinya bagaimana bisa membangun kolektivitas dan kebersamaan dalam menanggulangi terorisme dan radikalisme.
Selain data operasi Densus 88, apalagi yang menjadi dasar Provinsi Kepri sudah saatnya punya program RAD-PE?
Batam dan daerah lain di Kepri ditengarai sebagai jalur kelompok radikal, mestinya ada prioritas anggaran untuk program RAD-PE. Ada beberapa provinsi yang wajib sudah punya program RAD-PE, yaitu Riau, Kepri, Sulawesi Utara, Kaltim, Kaltara, itu wajib punya. Karena selain titik rawan juga cross-border. Nanti saya akan bantu advokasikan dengan gubernurnya, syukur-syukur jika ada kesempatan.
Bagaimana dengan Bengkulu yang bukan jalur langsung trans-Sumatera?
Bengkulu itu dideteksi sebagai ‘hidden-place’ paling aman. Kalau tidak salah, ada jaringan JI di Bengkulu. Juga ada penangkapan yang terkait dengan jaringan Sumatera Barat.
BACA JUGA: Bincang Terorisme – Radikalisme J5NEWSROOM dengan Taufik Andrie – Bagian 1
Apa peran Kominda (Komunitas Intelijen Daerah) dalam program penanganan terorisme di daerah?
Mengenai penanganan terorisme secara reguler, Kominda yang dipakai untuk melakukan kontrol dan monitoring. Memang tidak terlalu efektif. Saat ini, belum kelihatan perubahan konfigurasi dalam kerja-kerja isu terorisme. Saya punya pengalaman di Sukoharjo, saat membantu pemerintah daerah menerapkan RAD-PE, saya membangun konsolidasi dengan TNI, ternyata di sana pak Dandim-nya punya akses banyak dengan jaringan kelompok radikal. Ini memang tidak melanggar apapun, meskipun melampaui tupoksinya. Cuma di mana kami, sebagai NGO, ini kok agak aneh, TNI yang aktif dalam kerja-kerja mengenai terorisme dan deradikalisme.
Ancaman kelompok radikal itu kan ingin mendirikan negara Islam, itu artinya, potensi ancaman keamanan negara, kalau itu yang terjadi maka yang di depan adalah TNI, bagaimana dengan argumen ini?
Iya, saya juga dengar argumen itu juga. Dengan apa yang telah teman-teman TNI lakukan sekarang ini, mereka sudah melakukan mapping dengan baik. Itu harus dicermati dalam undang-undang terorisme. Memang sempat ada usulan, agar peran TNI diperluas dalam kerja melawan radikalisme, bahkan ada usulan agar TNI juga dilibatkan dalam program deradikalisasi. UU No 5 2018, tapi gagal. Jadi, peran TNI masih standar. Nah, apakah di era pemerintahan Presiden Prabowo nantinya akan ada revisi undang-undang atau dikeluarkan payung baru, itu yang belum bisa kita pastikan.
Mengenai jumlah tim deradikalisasi, berapa jumlahnya saat ini? Apakah cukup?
Secara matematika tidak cukup. Tapi sekarang, banyak elemen deradikalisasi. Densus 88 punya tim, BNPT punya, NGO punya cukup banyak yang aktif dalam aksi deradikalisme. Bahkan, sekarang ini pemerintah daerah juga punya RAN-PE. Kalau di daerah nama programnya, RAD-PE (Rencana Aksi Daerah Pencegahan Terorisme). Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mengamanatkan setiap kepala daerah provinsi/kabupaten/kota untuk punya program RAD-PE. Tapi, saya belum dengar apakah Batam atau Provinsi Kepri sudah punya atau belum program RAD-PE. Provinsi Jateng, Jabar, Jatim, Aceh, Lampung, Sulawesi Tengah sudah punya.
Apakah Densus 88 juga terlibat dalam program deradikalisasi?
Densus 88 punya Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos), ini adalah unit deradikaliasi yang aktif dan efektif. Bahkan mereka juga punya Satgaswil, di Kepri juga ada. Merekalah yang bekerja di lapangan itu lebih fokus pada kerja deradikalisasi.
Terkait dengan jatuhnya rezim Al Assad di Suriah dan ISIS juga kalah, apakah ini bisa disebut tidak ada cantolan internasional lagi bagi kelompok radikal di Indonesia?
Saya membaca petanya begini, sebetulnya, dinamina terakhir itu akan mengikuti dinamika global. Power ISIS tahun 2002-2003 sudah hilang. Tetapi, sebagai entitas, mereka kan terus bergerak, bagaimana mengirimkan entitas mereka ke titik-titik yang jauh, seperti ke Afrika, Asia Selatan. Bahkan sel tidur mereka di Eropa, itu masih mengerikan. Jangkauan mereka di Asia Tenggara mungkin kecil, tetapi kan ada safe haven mereka di Filipina Selatan. Ini strategis untuk tiga negara, yaitu Filipina, Malaysia dan Indonesia.
Apakah saat ini ISIS masih berbahaya bagi Indonesia?
Mungkin ISIS tidak berbahaya seperti di tahun 2017, tapi sel tidur seperti ini kan juga mengkhawatirkan. Kalau kita memahami kelompok radikal, pertama kalau melihat radikalisme itu kan ada yang short-term dan ada long-term. Nah, yang long-term itu dibaca berbarengan dengan proyeksi. Kalau Marawi (Pulau Mindanao, Filipina) itu proyeksinya adalah bagaimana mereka bisa selamat membangun jejaring baru melalui perkawinan. Dan itu kalau survive setahun dua tahun, mereka akan eksis.
Bagaimana dengan jaringan ISIS di Indonesia?
Dalam konteks Indonesia, ini makin kompleks. Karena kita belum tahu, dari data berapa laki-laki dewasa yang masih hidup di Suriah dan Irak. Kalau pun mereka dipenjara, di penjara mana. Apalagi, sekarang ini setelah Presiden Suriah Bashar Al Assad jatuh, mereka dibebaskan oleh kelompok pemberontak HTS (Hayat Tahrir al-Sham) yang berhasil menggulingkan Al Assad. Ada beberapa momentum ketika ISIS melemah, banyak ‘Indonesian fighter’ itu berhasil dikirim keluar, masuk ke Asia Selatan, Pakistan dan Afganistan. Di sana ada ISIS lokal, namanya Khurasan. Ini perbatasan Afganistan dan Pakistan. Ada juga yang dikirim ke Aljazair.
Apakah sel-sel jaringan mereka sudah terlacak?
Mereka ini belum terlacak. Pada sisi lain, ada fenomena, bahwa perempuan warga Indonesia yang kehilangan suami-suami mereka. Nah, suami baru mereka itu kan warga negara asing. Bisa jadi, mereka masih hidup, mungkin dipenjara, atau malah berhasil keluar, mungkin masuk ke Turki atau ke Asia Selatan. Beberapa dari mereka bahkan sudah punya garis keturunan baru dari pernikahan yang baru itu. Nanti kalau mereka dipulangkan, ini ada potensi re-connectivity, bagaimana kalau mereka masuk ke Indonesia, suami-suami mereka untuk menemui istri dan anak-anak mereka.
Apakah keberhasilan HTS tersebut akan berdampak bagi kebangkitan pergerakan kelompok radikal di Indonesia?
Bukan tidak mungkin kabar kemenangan HTS itu ditafsirkan salah oleh kelompok jaringan radikal di Indonesia. Yaitu ditafsirkan bahwa ISIS menang di Suriah. Ini bukan tidak mungkin akan memancing euforia jaringan radikal Indonesia untuk terbang ke Suriah untuk merayakan kemenangan ISIS. Pemerintah harus lebih serius pasang mata dan telinga dalam konteks ini. Saya berpikir simpel, pemerintahan Suriah belum stabil. Karena mereka belum stabil, mungkin konsolidasi mereka, terutama titik-titik perbatasan masih rendah. Ini menjadi kesempatan bagi orang-orang yang ingin gabung. Termasuk, mereka yang berlarian sampai ke Asia Selatan, Afrika, ingin balik ke sana. Kalau kita diskusi dengan orang-orang Indonesia, mereka kan belum tentu memahami bahwa pemerintahan ini belum stabil dan kuat. Yang mereka pahami adalah ini adalah kemenangan dan keberhasilan menumbangkan rezim Al Assad.
Berapa banyak warga Indonesia yang masih ingin kembali ke Suriah?
Di Indonesia ini banyak orang penasaran, di periode tahun 2014 s/d 2017 kan banyak warga Indonesia yang ingin masuk ke Suriah. Ada ratusan yang dideportasi dari Turki, tapi ada juga yang dideportasi dari Singapura, Malaysia, Brunei, Hongkong, mereka itu ketika dikembalikan ke Indonesia kan masih penasaran.
Bagaiaman dengan mantan Direktur Badan Pengusahaan (BP) Batam Dwi Djoko Wiwoho?
Kalau pak Joko masih mending, kan sudah sampai ke Suriah, sudah tahu kan. Kalau yang belum sampai itu kan masih exited. Nah, kabar-kabar seperti ini siapa tahu disalah-tafsirkan bagi para deportan yang mengalami deportasi sebelum ke Suriah. Para deportan itu kan mungkin masih penasaran dan akan mencoba kembali ke Suriah. Waktu itu kan mereka bukan pelanggaran hukum. Karena bukan pelanggar hukum, mereka tidak tersentuh program deradikalisasi. Saya tahu betul, pemerintah Indonesia kehilangan jejak mereka.
Berapa kira-kira jumlah mereka?
Itu ada sekitar ratusan orang. Mungkin ada sekitar 700 sd 750 orang di era 2017 s/d 2018, mengkhawatirkan. Kalau 10 persen saja dari mereka itu, berarti 70 orang, ini sudah mengerikan.*