J5NEWSROOM.COM, Polemik terkait wacana pemanfaatan dana zakat untuk mendanai program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus menuai perhatian di kalangan masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan akademisi. Guru Besar Ushul Fikih Universitas Islam Negeri KH Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember, Prof. Muhammad Noor Harisudin, secara tegas menyatakan bahwa penggunaan dana zakat untuk MBG tidak diperbolehkan secara syar’i karena tidak sesuai dengan ketentuan sasaran zakat.
Menurut Prof. Harisudin, zakat memiliki delapan golongan penerima atau ashnaf yang telah diatur dalam syariat Islam, yaitu fakir, miskin, hamba sahaya, gharimin (orang berutang yang tidak mampu membayar), muallaf (orang yang baru masuk Islam), fisabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal), dan amil zakat (petugas penghimpun dan penyalur zakat). Ia menekankan bahwa penggunaan zakat di luar delapan golongan tersebut akan membuat zakat menjadi tidak sah.
“Sasaran program MBG adalah seluruh anak sekolah, termasuk santri di pesantren, yang terdiri dari berbagai latar belakang ekonomi, baik kaya maupun miskin. Sedangkan zakat hanya boleh diberikan kepada delapan golongan yang telah ditentukan syariat,” kata Prof. Harisudin, Senin, 20 Januari 2025.
Ia mengingatkan bahwa jika zakat disalurkan kepada sasaran di luar delapan ashnaf, maka kewajiban zakat tidak terpenuhi, dan orang yang mengeluarkannya harus mengulang zakatnya. Oleh karena itu, Prof. Harisudin mendesak pemerintah untuk berhati-hati dalam mewacanakan penggunaan dana zakat untuk program semacam MBG. Ia juga meminta agar para amil zakat, yang bertugas menghimpun dan menyalurkan zakat, turut bersuara dalam memastikan agar zakat tidak digunakan di luar peruntukannya.
Sebagai solusi, Prof. Harisudin mengusulkan bahwa dana yang dapat digunakan untuk program MBG adalah dana infak dan sedekah. Ia menjelaskan bahwa infak dan sedekah memiliki fleksibilitas lebih besar dibandingkan zakat, tergantung pada akad yang disepakati. Jika akad infak dan sedekah ditujukan untuk membantu kebutuhan umum, seperti MBG, maka penggunaannya diperbolehkan. Namun, jika akadnya bersifat spesifik untuk tujuan tertentu, dana tersebut tetap tidak dapat dialokasikan untuk MBG.
Wacana pemanfaatan dana zakat untuk MBG pertama kali disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sultan B. Najamuddin. Menurut Sultan, mayoritas penerima manfaat MBG adalah masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah yang memerlukan dukungan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mereka. Namun, keterbatasan anggaran menjadi kendala besar dalam merealisasikan program tersebut. Saat ini, pemerintah hanya mengalokasikan Rp71 triliun dari total kebutuhan anggaran sekitar Rp450 triliun.
Bahkan, rencana realisasi tahap awal Program MBG di Jember untuk 3.000 siswa pada 13 Januari 2025 batal terlaksana akibat belum adanya dukungan anggaran. Padahal, jumlah siswa di Jember yang menjadi target MBG mencapai sekitar 500 ribu orang.
Kontroversi ini menunjukkan perlunya pengelolaan dana sosial yang tepat sasaran dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik secara syar’i maupun dalam pengelolaan kebijakan publik. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat mencari solusi alternatif untuk mendukung keberlanjutan program MBG tanpa menimbulkan polemik yang berpotensi merugikan pelaksanaan zakat di Indonesia.
Editor: Agung