J5NEWSROOM.COM, Surabaya – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia melaporkan catatan kejadian bencana di Indonesia sebagai langkah antisipasi terhadap potensi bencana yang mungkin terjadi selama tahun 2025. Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah gempa bumi. BMKG mencatat terdapat 14 segmen sumber gempa subduksi, 402 segmen sumber gempa sesar aktif, serta sejumlah sumber gempa yang belum teridentifikasi secara pasti.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebutkan adanya kecenderungan peningkatan kejadian gempa di Indonesia setiap tahunnya, sehingga perlu diwaspadai oleh semua pihak. Rata-rata kejadian gempa dari tahun 1990 hingga 2008 mencapai sekitar 2.254 gempa per tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 5.389 pada periode 2009 hingga 2017, kemudian menjadi 11.731 dalam rentang tahun 2018 hingga 2023, dan melonjak hingga 29.869 pada tahun 2024.
“Aktivitas kegempaan yang terpantau oleh BMKG juga mengalami lonjakan. Berdasarkan data aktivitas gempa dalam jangka panjang, dari tahun 1990 hingga 2024 terlihat adanya kecenderungan peningkatan jumlah kejadian gempa di Indonesia setiap tahunnya,” ujarnya.
Dwikorita menjelaskan bahwa peningkatan catatan gempa ini berkaitan dengan bertambahnya jumlah sensor yang mampu meningkatkan kemampuan deteksi. Penambahan sensor tersebut bertujuan untuk memperkuat sistem antisipasi terhadap gempa.
“Sejak tahun 2008, kami telah membangun jaringan dan sistem informasi dini gempa serta peringatan dini tsunami. Saat itu jumlah sensor meningkat dari sekitar 20 menjadi 100, dan saat ini telah mencapai 550 seismograf,” jelasnya.
Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Wafid, turut mengingatkan tentang potensi bencana geologi lainnya, yaitu erupsi gunung berapi. Ia menyebutkan bahwa pihaknya telah menyiapkan teknologi modern untuk menciptakan data terpadu yang mendukung mitigasi bencana secara efektif.
“Untuk erupsi gunung api, hal ini berkaitan dengan modernisasi sistem pemantauan gunung api, pengembangan pos pemantauan gunung api yang saat ini berjumlah 69 pos, serta penyusunan peta geologi gunung api, peta kawasan rawan bencana gunung api, dan rekomendasi teknis mitigasi bencana gunung api,” ungkap Muhammad Wafid.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Indonesia telah memulai langkah-langkah awal dalam upaya pencegahan serta pengurangan risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada tahun 2025. Persiapan ini dilakukan setelah hasil pertemuan negara-negara ASEAN terkait kabut asap lintas batas yang diadakan di Bangkok, Thailand, pada Desember lalu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangan persnya usai rapat koordinasi di Jakarta pada Desember lalu, menyampaikan bahwa kesiapan dalam menangani potensi karhutla akan dimulai lebih awal tahun ini. “Kami akan menyiapkan langkah antisipasi lebih awal tahun ini dan memastikan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa kita siap menangani potensi karhutla di Indonesia. Kami akan berupaya menekan seminimal mungkin potensi kejadian tersebut,” ujar Hanif.
KLHK telah memulai koordinasi lintas sektoral yang melibatkan berbagai pihak, termasuk TNI/Polri, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, serta masyarakat yang tergabung dalam program Masyarakat Peduli Api dan Desa Tangguh Bencana. Koordinasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan.
Pakar Geologi dari Universitas Gadjah Mada, Wahyu Wilopo, mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Laporan World Risk Report (WRR) 2023 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki skor World Risk Index (WRI) sebesar 43,5 dari 100, hanya sedikit di bawah Filipina yang menempati peringkat pertama dengan skor 46,86. Tingginya indeks risiko bencana ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada di wilayah rawan gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, banjir, dan tanah longsor.
“Banyak masyarakat kita yang tinggal di wilayah rentan atau berisiko terdampak bencana, baik itu gempa bumi, longsor, banjir, dan sebagainya. Kerentanan ini semakin diperparah oleh kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial, yang membatasi kemampuan masyarakat dalam berinvestasi untuk kesiapsiagaan dan ketahanan infrastruktur,” jelasnya.
Wahyu menekankan pentingnya kampanye dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran serta kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Selain menyiapkan rencana darurat dan perlengkapan menghadapi bencana, ia juga menekankan bahwa masyarakat harus memperoleh informasi yang mudah dipahami, khususnya bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah dan penyandang disabilitas.
“Ini menjadi tantangan bagi kita semua, khususnya dalam menyampaikan informasi kepada mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Selain itu, penting untuk menyebarkan pesan yang sesuai dengan budaya, tradisi, dan kebutuhan masyarakat setempat,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Wahyu menambahkan bahwa beberapa negara maju telah memiliki sistem mitigasi bencana yang lebih baik dan Indonesia perlu mempelajarinya. Ia mencontohkan sistem mitigasi bencana di Amerika Serikat, yang mencakup berbagai upaya untuk mengurangi risiko serta dampak bencana, baik sebelum, saat, maupun setelah bencana terjadi.
Beberapa langkah mitigasi bencana yang diterapkan di Amerika Serikat meliputi identifikasi serta pemantauan risiko bencana, penyusunan rencana penanggulangan bencana secara partisipatif, pengembangan budaya sadar bencana, pembangunan infrastruktur tahan bencana, pengawasan tata kelola lingkungan serta sumber daya alam, penggunaan teknologi canggih, penyebaran informasi, sosialisasi, serta pendidikan dan penyuluhan mengenai bencana.
Menurut Wahyu, tujuan utama mitigasi bencana adalah untuk mengurangi risiko serta dampaknya, termasuk menekan jumlah korban jiwa, meminimalkan kerugian ekonomi, serta melindungi lingkungan.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah