![](https://j5newsroom.com/wp-content/uploads/2025/02/DONALD-TRUMP-1024x603.jpg)
J5NEWSROOM.COM, Lebih dari lima ratus ribu warga Palestina, atau hampir seperempat dari total populasi, telah bergerak menuju Gaza utara. Mereka menolak pernyataan Presiden Donald Trump pada Selasa yang menyatakan bahwa Amerika Serikat akan mengambil kendali atas wilayah Palestina.
Seorang warga Palestina, Samiha Zaher, menegaskan, “Trump bisa saja bermimpi jika mengira dia bisa menggusur atau mengusir kami.”
Ketika ditanya pada Selasa apakah ia akan mengerahkan pasukan Amerika untuk menguasai Gaza, Trump menegaskan, “Jika menyangkut Gaza, kami akan melakukan apa yang perlu dilakukan. Jika dibutuhkan, kami akan melakukannya. Kami akan mengambil alih Gaza.”
Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengklarifikasi pernyataan tersebut pada Rabu. “Ini tidak berarti pasukan Amerika akan ditempatkan di Gaza. Ini juga tidak berarti dana dari pembayar pajak Amerika akan digunakan untuk upaya ini. Maksudnya adalah Donald Trump, yang dikenal sebagai negosiator terbaik dunia, akan mencapai kesepakatan dengan mitra-mitra kami di kawasan itu,” ujarnya.
Namun, negara-negara di kawasan tersebut mengecam gagasan tersebut, termasuk Yordania dan Mesir, yang didorong Trump untuk menerima warga Palestina.
Raja Yordania Abdullah bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Amman pada Rabu, sementara pejabat tinggi Palestina mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Mesir di Kairo. Mereka menegaskan pentingnya solusi dua negara.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, juga menyoroti pentingnya menghormati hukum internasional. “Sangat penting untuk menghindari segala bentuk pembersihan etnis,” ujarnya.
Arab Saudi, yang memiliki pengaruh besar dalam geopolitik dan budaya dunia Arab, menegaskan melalui siaran televisi pemerintah Al Ekhbariya bahwa dukungannya terhadap Palestina tetap “kokoh, teguh, dan tidak tergoyahkan.” Pernyataan ini bertentangan dengan klaim Trump pada Selasa bahwa Arab Saudi tidak lagi menuntut tanah air bagi Palestina.
Saat itu, Trump menyatakan, “Arab Saudi sangat membantu. Mereka menginginkan perdamaian di Timur Tengah.”
Sebelumnya, Saudi sempat bernegosiasi dengan pemerintahan Joe Biden untuk mengakui Israel dengan imbalan perjanjian keamanan dan energi. Namun, pembicaraan itu terhenti setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan serangan balasan Israel.
Jika terwujud, kesepakatan dengan Saudi akan memperluas Perjanjian Abraham 2020, yang ditengahi Trump untuk menormalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab.
Madawi al-Rasheed, dosen tamu di Pusat Kajian Timur Tengah London School of Economics, mengatakan bahwa Riyadh saat ini lebih berhati-hati. “Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, tidak melihat manfaat langsung dari meneruskan rencana Presiden Trump, yang jelas kontroversial dan ditentang oleh banyak pihak di dunia,” katanya.
Penolakan terhadap rencana Trump tidak hanya datang dari negara-negara yang kerap berseberangan dengan Amerika, seperti China dan Rusia, tetapi juga dari sekutu-sekutunya, seperti Jerman, Prancis, dan Inggris. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyatakan, “Warga Palestina harus diizinkan kembali ke tanah mereka. Mereka harus diberi kesempatan untuk membangun kembali kehidupan mereka, dan kita harus mendukung mereka dalam perjalanan menuju solusi dua negara.”
Gedung Putih kini menegaskan bahwa rencana Trump hanya sebatas relokasi sementara bagi warga Palestina. “Gaza tidak layak huni bagi siapa pun. Dan menurut saya, adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi jika ada yang menyarankan agar orang-orang harus bertahan hidup dalam kondisi yang mengenaskan seperti itu,” kata Leavitt.
Leavitt menambahkan bahwa Trump akan segera berdiskusi dengan para pemimpin kawasan untuk membahas situasi tersebut.
Sementara itu, gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Amerika Serikat untuk menentang kebijakan awal Trump terkait Gaza.
Editor: Agung