![](https://j5newsroom.com/wp-content/uploads/2025/02/NENEK-AWE-REMPANG-1024x670.jpg)
J5NEWSROOM.COM, Batam – Seorang lansia dari Pulau Rempang Kota Batam, Siti Hawa (67), yang akrab disapa Nek Awe, menjalani pemeriksaan di Satreskrim Polresta Barelang, Kamis (6/2/2025). Bersama dua warga lainnya, Sani Rio (37) dan Abu Bakar (54), ia ditetapkan tersangka atas dugaan perampasan kemerdekaan seseorang dalam insiden yang terjadi di Pulau Rempang pada 18 Desember 2024 lalu.
Penetapan status tersangka terhadap Nek Awe mengejutkan warga Rempang Kota Batam. Ia dianggap hanya sebagai warga yang berusaha mempertahankan haknya di tengah polemik proyek Rempang Eco-City.
“Bagaimana mungkin seorang nenek berusia 67 tahun disebut menghalangi atau mempengaruhi warga dalam insiden itu?” ujar salah satu warga yang mendampingi pemeriksaan.
Peristiwa bermula ketika warga Kampung Sembulang Hulu dan Dapur 3 menangkap satu dari empat orang yang diduga pekerja PT Makmur Elok Graha (MEG) setelah mereka mencopot spanduk penolakan terhadap proyek strategis nasional tersebut pada Selasa (17/12/2024) malam. Warga kemudian membawa pria berinisial R itu ke posko di Kampung Sembulang Hulu.
Negosiasi dengan kepolisian sempat dilakukan, tetapi akhirnya terjadi penyerangan terhadap warga oleh puluhan orang yang diduga pekerja PT MEG dengan menggunakan senjata berupa balok hingga panah.
Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP Debby Tri Andrestian, menjelaskan ketiga tersangka, termasuk Nek Awe, dituduh menghalangi dan mempengaruhi warga untuk tidak segera melepaskan pria yang diamankan. “Kenapa kami terapkan Pasal 333 KUHP? Karena ada perbuatan dari ketiga tersangka untuk menghalangi seseorang yang sudah tidak berdaya,” ujar AKP Debby.
Meskipun demikian, warga mempertanyakan ketegasan aparat dalam menangani kasus ini, mengingat ada laporan penyerangan terhadap masyarakat yang mengakibatkan delapan korban luka. Kepolisian sendiri telah menetapkan dua karyawan PT MEG sebagai tersangka, namun warga menilai masih banyak pelaku lain yang belum ditindak.
“Kami ingin tahu, kenapa penyerang kami yang jumlahnya puluhan itu belum semua diproses? Apakah keadilan hanya berlaku untuk pihak tertentu saja?” ujar seorang warga yang ikut mengawal pemeriksaan Nek Awe.
Kasus ini menyoroti ketegangan antara warga Rempang dan perusahaan yang mengelola proyek Rempang Eco-City, serta peran aparat dalam menangani konflik yang semakin meruncing. Hingga kini, kepolisian menyatakan masih mendalami keterlibatan lebih banyak pihak dalam peristiwa tersebut.
Walau sudah menjalani pemeriksaan dan telah ditetapkan sebagai tersangka, ketiga warga pulau Rempang saat ini tidak ditahan. Hal ini menyusul pengajuan yang dilakukan LBH Mawar Saron Batam selaku kuasa hukum.
Direktur LBH Mawar Saron Batam, Supriardoyo Simanjuntak mengatakan, kliennya tidak berniat menahan dan merampas kemerdekaan seseorang seperti pasal yang disangkakan pihak kepolisian.
Adapun niat warga terpaksa menahan satu pekerja PT MEG saat peristiwa berlangsung, lebih dikarenakan tidak adanya tindakan kepolisian saat warga mempertanyakan pengrusakan alat perlawanan warga dalam mempertahankan kampung mereka.
“Kami tim kuasa hukum dari tim solidaritas pada prinsipnya mendukung penegakan hukum, dan mengapresiasi dikabulkannya permintaan kami agar tidak dilakukan penahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka. Namun warga bukan ingin menahan (karyawan PT MEG), mereka hanya meminta kepastian dari pihak kepolisian, terkait pengrusakan yang dilakukan pekerja perusahaan,” katanya, Kamis (6/2/2025) malam
Berbeda dengan keterangan kepolisian, tim kuasa hukum menyebut kliennya diminta menjawab sekitar 29 poin pertanyaan, seputar apa yang terjadi sejak pukul 18.00 WIB, Selasa (17/12/2024) hingga Rabu (18/12/2025) dinihari yang merupakan waktu penyerangan.
Dalam keterangannya, klien yang didampingi oleh nya menyebut pelapor telah berada disana sebelum kliennya tiba di posko Sembulang Hulu. Bahkan kliennya tidak menyentuh pelapor sama sekali.
“Saya sendiri mendampingi pak Rio, di mana beliau menyampaikan saat tiba di lokasi. Orang yang melakukan pengrusakan sudah berada disana dan klien saya tidak menyentuh sama sekali,” sebutnya.
Selain itu, tim kuasa hukum juga mempertanyakan transparansi penegakan hukum atas laporan yang telah dilakukan, dan menyebabkan 8 orang warga menjadi korban dari penyerangan yang dilakukan puluhan orang diduga pekerja PT MEG.
“Terhadap laporan warga, sejauh mana, siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka. Itu yang kami ingin ada transparansi penegakan hukum terhadap perkara yang melibatkan warga sebagai korban,” tegasnya.
Terpisah, Siti Hawa atau Nek Awe paska menjalani pemeriksaan mengaku hingga kini sudah tidak pernah merasa tenang, sejak rencana PSN Rempang Eco-City mulai digaungkan.
Untuk itu, selaku warga pulau Rempang, Nek Awe bahkan mengharapkan agar pihak perusahaan dapat memilih wilayah lain sebagai lokasi investasi. “Permintaan nenek dan warga, perusahaan ini dipindahkan saja sebab kami saat ini tidak pernah ada ketenangan,” ujarnya.
Nek Awe bahkan menyebut tidak dapat menerima pasal perampasan kemerdekaan yang dikenakan kepada dirinya. Hal ini dikarenakan bahwa dirinya hanya ingin mempertahankan kampung kelahirannya. “Nenek tak terima, apa yang nenek rampas, nenek kan jaga kampung,” sebutnya.
Editor: Agung