Kejar Swasembada Beras, Kementan Genjot Perluasan Tanam Padi hingga April

Lahan sawah padi di distrik Kurik, Merauke, Papua Selatan. (Foto: dok Setpres)

J5NEWSROOM.COM, Poso – Kementerian Pertanian menargetkan swasembada pangan pada akhir 2025 untuk mengantisipasi kebijakan pemerintah yang melarang impor beras dan jagung. Ketua Tim Kerja Pembinaan dan Pengawasan Sertifikasi Benih Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Happy Suryati, menyebutkan bahwa salah satu langkah yang dilakukan adalah meningkatkan luas tambah tanam (LTT) padi hingga 2 juta hektare per bulan hingga April 2025.

Setiap malam, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengadakan pertemuan daring dengan seluruh daerah guna memastikan target tersebut tercapai. Peningkatan produksi padi dilakukan melalui pembukaan lahan baru, optimalisasi kondisi cuaca, serta penyediaan benih yang memadai. Diharapkan, petani yang biasanya menanam padi dua kali dalam setahun bisa meningkatkan produksi menjadi tiga kali.

Program prioritas Kementerian Pertanian mencakup optimasi lahan seluas 360 ribu hektare dan cetak sawah baru 750 ribu hektare di 12 provinsi, termasuk Papua Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Selain itu, pemerintah menyalurkan alat mesin pertanian sebanyak 1,14 juta unit, pupuk bersubsidi sebesar 9,03 juta ton, serta benih unggul 150 ribu ton. Target produksi beras pada 2025 ditetapkan sebesar 32,83 juta ton, sementara produksi jagung mencapai 16,68 juta ton dengan kadar air 14 persen.

Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional, I Gusti Ketut Astawa, memperkirakan stok akhir beras pada 2025 akan mencapai hampir 10 juta ton. Dengan stok awal 8,1 juta ton dan produksi 32 juta ton dikurangi kebutuhan 31 juta ton, Indonesia dipastikan tidak perlu mengimpor beras. Harga Gabah Kering Panen (GKP) ditetapkan sebesar Rp 6.500 per kilogram di tingkat petani, sedangkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk beras di gudang Bulog mencapai Rp 12.000 per kilogram. Kebijakan ini diharapkan dapat memotivasi petani untuk terus meningkatkan produksi.

Namun, tantangan besar masih dihadapi dalam mencapai swasembada. Ekonom senior INDEF, Bustanul Arifin, menyoroti produktivitas beras yang cenderung stagnan sejak era reformasi. Meskipun di kebun penelitian bisa mencapai 10 hingga 11 ton per hektare, realitas di lapangan hanya sekitar 5,28 ton per hektare. Ia menduga hal ini disebabkan oleh degradasi lahan akibat penggunaan pupuk kimia secara berlebihan.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas adalah kurangnya pendampingan terhadap petani dalam penggunaan benih unggul. Dari 530 varietas unggul baru (VUB) yang tersedia hingga 2023, hanya 155 varietas yang ditanam petani, dengan Inpari 32 HDB, Ciherang, dan Mekongga sebagai varietas utama. Kurangnya peran penyuluh pertanian menjadi kendala, karena selain jumlahnya masih jauh dari kebutuhan, tugas mereka lebih banyak berfokus pada administrasi daripada mendampingi petani secara langsung.

Editor: Agung