![](https://j5newsroom.com/wp-content/uploads/2025/02/SHAMSI-A.jpg)
Oleh Imam Shamsi Ali
SEBAGAIMANA tahun-tahun sebelumnya kali ini saya kembali mendapat Kehormatan menjadi salah seorang narasumber di acara tahunan Dialog Antar Agama Dunia dalam Harmoni PBB atau UN World Interfaith Week of Harmony di kantor PBB New York. Acara kali ini disponsori oleh dua Perwakilan Tetap Malawi dan Vanuatu, dan sebagai pelaksana (organizer) adalah sebuah organisasi antar agama yang berpusat di Korea bernama HWPL (Heavenly Culture World Peace, Restoration of Light.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya di mana Nusantara Foundation langsung menjadi co sponsor atau ikut menjadi pelaksana. Karena satu dan lain hal kali ini Nusantara tidak ikut menjadi pelaksana. Namun demikian, oleh banyak organisasi antar agama kami selalu dianggap bisa memberikan kontribusi pemikiran mewakili Komunitas Muslim dalam acara-acara seperti ini.
Saya mengapresiasi Perutusan RI sewaktu Dubes Desra Percaya sebagai Watapri. Ketika itu Indonesia ikut menjadi co-sponsor acara yang dilaksanakan oleh Nusantara Foundation bekerjasama dengan organisasi Diaspora atau World African Congress.
Sayangnya sejak PTRI dipimpin oleh Dian Triansyah Djani hingga kini, PTRI tidak pernah lagi ikut mensponsori acara-acara seperti ini. Tentu saya menyayangkan hal ini. Apalagi Indonesia adalah negara Muslim terbesar dunia dan sering dibanggakan oleh para diplomatnya.
Di acara-acara seperti inilah seharusnya para wakil Indonesia di luar negeri harus memainkan peranan, khususnya di bidang budaya dan agama, untuk menampilkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mampu memainkan perananan besar untuk membangun dunia yang harmoni dan damai berdasarkan keadilan Universal dan di atas asas saling menghormati (mutual respect) untuk kemanfaatan bersama (mutual benefit).
Apalagi, sekali lagi, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga dunia dan negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Hal ini akan menjadi modal besar bagi Indonesia di dunia diplomasi internasional. Hal yang tidak banyak mendapat perhatian dari para diplomat RI.
Peranan pemimpin agama dalam mempromosikan perdamaian dan melawan ekstrimisme dan kekerasan
Tema UN World Interfaith Harmony Week tahun adalah menggali kemampuan pemimpin agama dalam mempromosikan perdamaian dan melawan ekstrimisme dan kekerasan (leveraging the role of Religious leaders in promoting peace and combating extremism and violence). Sebuah tema yang sangat kontekstual mengingat berbagai peristiwa dunia yang sangat menyedihkan, khususnya di Timur Tengah.
Dalam presentasi singkat (tradisi UN yang serba terbatas) saya menyampaikan dua hal penting berkaitan dengan tema Konferensi atau pertemuan antar agama itu.
Pertama, saya kembali mengingatkan bahwa ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia (world peace) adalah tendensi naiknya ekstremisme dalam segala aspek kehidupan manusia. Di berbagai belahan dunia terpilih politisi-politisi yang ekstrim menjadikan polarisasi manusia semakin tajam. Salah satunya adalah fragmentasi ras di antara manusia yang sangat tajam. Rasisme semakin meninggi dan kebencian antar ras semakin tajam.
Ekstrimisme bahkan terjadi dalam aspek perekonomian. Kenyataan bahwa modal dunia dipegang oleh segelintir orang dan perekonomian dunia dikendalikan oleh segelintir orang menunjukkan tendensi ekstremisme di aspek perekonomian kehidupan manusia nyata. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan termarjinalkan. Hal yang kemudian menimbulkan gesekan dan perpecahan sosial di antara manusia.
Tentu ekstrimisme pada aspek agama bukan baru. Bahkan seringkali ketika berbicara tentang ekstremisme, banyak orang yang langsung menghubungkannya dengan ajaran agama. Hal yang benar namun seringkali tidak adil dan bijak terhadap agama. Saya katakan tidak adil dan tidak bijak karena agama seringkali hanya menjadi kendaraan bagi kecenderungan ekstremisme aspek lain, termasuk di antaranya politisasi agama.
Kedua, disinilah pentingnya para pemimpin agama untuk terlibat secara langsung dan nyata dalam mempromosikan perdamaian dan memerangi ekstremisme dan kekerasan. Saya menekankan bahwa tugas ini memang menjadi kewajiban (duty) para pemimpin agama dan mereka memiliki kemampuan (capability) untuk itu. Kewajiban karena memang itu amanah semua agama yang mengajarkan perdamaian. Memiliki kemampuan karena pemimpin agama memiliki akses langsung dan pengaruh besar kepada masyarakat luas.
Untuk mewujudkannya (tugas dan kewajiban) itu ada beberapa hal yang saya sampaikan untuk para pemimpin agama harus dikuasai dan dilakukan.
1). Para Ulama harus berani keluar dari dinding-dinding sempit rumah ibadah mereka (saya menyebutnya comfort zone) dan membangun relasi dengan alam sekitar yang lebih luas. Diperlukan motivasi dan keberanian untuk melabrak kebiasaan yang senang bersama dengan diri sendiri (komunitas sendiri) dan tidak berani atau tidak termotivasi bergaul dengan mereka yang kita anggap berbeda.
Dalam pandangan Islam inilah disebut “ta’aruf” (saling mengenal). Dan ini pulalah yang dikenal sebagai “Dialog antar Komunitas Agama” di masa kini. Dialog antar Komunitas agama ini bukan sekedar seminar antara tokoh atau pemimpin agama. Tapi bagaimana masyarakat agama-agama yang berbeda bisa hidup berdampingan bahkan bersama dengan keyakinan dan prinsip masing-masing.
2). Para pemimpin agama harus berani mendukung dan membela nilai-nilai universal manusia (the universal human values) seperti hak-hak asasi manusia, hak kemuliaan manusia, kebebasan dan keadilan untuk semua. Di sisi lain para pemimpin agama harus berani menentang dan mengutuk (condemn) ekstremisme dan kekerasan oleh siapapun pelakunya dan siapapun korbannya.
Pada poin ini saya mengingatkan pentingnya kejujuran dan keadilan. Saya masih ingat Pasca 9/11 di tahun 2001 bagaimana saya ketika itu seringkali diserang dengan tuduhan bahwa pemimpin Islam tidak mengutuk peristiwa serangan WTC. Padahal hampir semua pemimpin Islam dunia mengutuknya. Ketidakjujuran terjadi ketika umat Islam menjadi korban kekerasan justeru mereka yang menyerang saya ketika itu diam tanpa reaksi. Kita lihat apa yang terjadi di Gaza/Palestina. Bahkan di depan mata kita Masyarakat Muslim India dibunuh hanya karena mengkonsumsi daging sapi.
3). Para pemimpin agama harus berani dan mampu memberikan penafsiran sumber-sumber keagamaan, yang jika tidak dipahami dengan konteks yang benar, bisa mengantar kepada ekstremisme dan kekerasan. Saya menekankan bahwa pada semua Kitab Suci (holy scriptures) ada ayat-ayat yang bisa dikategorikan “bloody verses”.
Dalam konsep Islam ada Jihad yang disebutkan berkali-kali dalam Al-Quran. Jihad adalah konsep yang positif dan konstruktif. Konsep yang bermakna “perjuangan untuk kebaikan”, baik pada tataran individual maupun kolektif. Tapi konsep ini telah banyak disalah pahami dan diputarbalikkan (twisted) oleh banyak orang, baik di kalangan umat Islam apalagi di kalangan non Muslim.
4). Para pemimpin agama harus mampu memberikan bimbingan kepada masyarakatnya tentang pentingnya membangun dan menjaga perdamaian dan mengingatkan bahaya ekstrimisme dan kekerasan. Masyarakat memerlukan bimbingan yang bijaksana dan mampu menenangkan di saat ada peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Islam mengajarkan bahwa seorang “hamba Yang Maha Rahman” (ibad ar-Rahman) ketika diperhadapkan kepada situasi yang kurang baik maka diarahkan untuk merespon dengan response yang damai (peaceful). Pemimpin agamalah yang memiliki otoritas untuk selalu mengingatkan dan menyadarkan umat tentang ini.
5). Advokasi dan promosi perdamaian dan perlawanan kepada ekstremisme dan kekerasan adalah tugas semua pihak (stakeholder). Oleh karenanya diperlukan kerjasama (partnership) dan kerja sama (collaborative work) yang melibatkan tokoh-tokoh agama, pemerintah, organisasi internasional termasuk PBB, bahkan komunitas secara luas.
Para akhirnya kegiatan seperti UN World Interfaith Harmony Week ini jangan hanya menjadi nyanyian yang tak berarti (kumbaya). Tapi bagaimana memastikan agar masyarakat dengan latar belakang berbeda bisa hidup bersama dan berdampingan dengan rasa solidaritas, kasih sayang, kerjasama dan saling mendukung dalam perdamaian dan dalam melawan ekstremisme dan kekerasan.
Semoga dunia semakin adil dan damai. Amin!
Jamaica Hills, 8 Februari 2025
Penulis adalah Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat. Artikel ini di-japri ke J5NEWSROOM.COM Selasa 11 Februari 2025.