
Oleh Naila Ahmad Farah Adiba
MIRIS! Seorang pelajar usia enam belas tahun tega membunuh teman perempuannya akibat ungkapan perasaan cintanya ditolak. Di era modern seperti saat ini, nyawa manusia seolah tak ada harganya. Bebas dihabisi jika tak sesuai dengan keinginannya. Bahkan, hanya untuk masalah sepele bernama nafsu berbalut kata cinta.
Teman, jika kita melihat dengan seksama, kejadian ini bukanlah pertama kalinya terjadi. Melainkan sudah peristiwa yang kesekian kali. Namun, mengapa masih terus terulang hingga kini? Padahal, usia muda adalah usia produktif untuk menggapai segala cita-cita dan impian kita. Lalu mengapa harus terbuang sia-sia hanya karena hubungan asmara?
Guys, hidup di usia yang kestabilan emosinya sangat rendah menjadikan sebagian besar remaja lalai. Sehingga ia berbuat sesukanya tanpa memikirkan akibat jangka panjang dari perbuatan yang dilakukan.
Padahal sebagai seorang muslim kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka seharusnya sangat perlu untuk menguatkan kontrol emosi kita agar tidak berbuat sesuatu yang melanggar norma agama maupun hukum negara.
Belum lagi kurangnya pendidikan moral dan pengabaian terhadap kesehatan mental remaja menjadikan mereka terkungkung dengan masalah pribadi mereka yang berujung pada tindakan kriminal yang dilarang oleh agama maupun negara.
Selain itu, lingkungan sekitar mereka yang kurang mendukung untuk menjaga mereka dari perbuatan keji menambah parah keadaan mereka. Ditambah di era teknologi yang semakin canggih menjadi tuntunan mereka dalam bertindak. Baik sesuai dengan syariat maupun yang tidak sesuai dengan syariat. Akhirnya, para remaja menjadikan sosial media sebagai tolok ukur baik buruknya perbuatan mereka. Bukan lagi agama yang menjadi tolok ukurnya.
Belum lagi sekolah yang hanya memberikan nilai di atas kertas tanpa pembentukan karakter. Sehingga menjadikan banyak anak berhasil secara pengetahuan, namun nir adab alias tidak memiliki karakter yang sesuai dengan aturan agama.
Berbagai kondisi yang terjadi ini merupakan dampak dari penerapan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga orang bebas melakukan tindakan yang melanggar syariat selama di luar tempat ibadah.
Selain itu, sistem ini juga menjadikan standar kebahagiaan seseorang adalah berasaskan materi semata. Sehingga ia akan memenuhi hawa nafsunya dengan segala cara. Tak peduli apakah perbuatan yang ia lakukan menimbulkan dosa ataupun tidak. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana agar keinginannya dapat terpenuhi secara cepat.
Berbagai problematika yang menimpa generasi muda saat ini tentu saja membutuhkan sebuah sistem yang mampu memberikan solusi secara komprehensif. Agar permasalahan ini dapat segera diatasi dan diselesaikan.
Sistem itu tentu saja adalah sistem Islam. Di dalam Islam, pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek akademis alias nilai semata. Melainkan juga memfokuskan terhadap pembentukan karakter yang sesuai dengan syariat Islam atau biasa disebut dengan syakhsiyyah Islam yang artinya memiliki kepribadian Islam.
Ketika seseorang telah terbentuk dengan kepribadian Islam, maka ia akan memiliki kendali terhadap emosi, memahami dengan benar hubungan antara ia dengan manusia lainnya. Sehingga akan tercipta komunikasi yang harmonis tanpa menyalahi aturan agama.
Tak hanya itu, Islam juga mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga akan mencetak seseorang dari fitnah dan perbuatan yang melampaui batas. Sehingga perbuatan yang merusak moral dan memicu konflik emosional dapat dicegah.
Dengan penerapan syariat Islam dalam seluruh lini kehidupan, dapat menyelesaikan dan mencegah segala problematika ini dari akarnya. Sehingga para remaja dapat mengoptimalkan kinerja dan potensinya untuk memperjuangkan kejayaan Islam.
Wallahu a’lam bish showwab.
Penulis adalah Siswi MAN 1 Kota Batam.