Amerika Tak Lagi Pimpin JETP Indonesia, Pakar Sayangkan Mundurnya AS

PLTU Suralaya di Cilegon, provinsi Banten, yang memakai tenaga batu bara (foto: ilustrasi).

J5NEWSROOM.COM, Tidak lama setelah Donald Trump kembali dilantik sebagai Presiden AS pada Januari lalu, Washington memutuskan mundur dari posisi pemimpin bersama dalam Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia (Just Energy Transition Partnership/JETP Indonesia). Kemitraan ini, yang sebelumnya dipimpin oleh Amerika dan Jepang, dibentuk dalam rangka mempercepat transisi energi Indonesia dengan mengurangi ketergantungan pada batu bara serta meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan.

Menurut pakar transisi energi sekaligus Direktur Pelaksana Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, keputusan AS ini berpotensi memengaruhi persepsi global terhadap urgensi transisi energi, termasuk di Indonesia. Ia menyoroti bahwa meskipun investasi energi AS di Asia Tenggara tidak terlalu besar, secara diplomasi dan kepemimpinan global, keputusan tersebut menjadi kehilangan yang cukup signifikan.

Selain menarik diri dari JETP Indonesia, AS juga mundur dari Perjanjian Iklim Paris, yang merupakan kesepakatan internasional dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Gedung Putih belum memberikan tanggapan terkait komitmen iklim mereka setelah keputusan tersebut.

Di Indonesia, keputusan ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan keengganannya untuk melakukan pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara tanpa adanya pendanaan dari lembaga donor. Sementara itu, Utusan Khusus RI Bidang Iklim, Hashim Djoyohadikusumo, bahkan menyebut JETP sebagai “program gagal.”

Meski demikian, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada proyek-proyek iklim dan upaya penurunan emisi. Ia menjelaskan bahwa pendanaan dari berbagai negara lain tetap berjalan, dengan proyek seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ijen yang mendapat dukungan pendanaan dari AS sebesar $126 juta pada pertengahan 2024.

Kini, posisi AS sebagai pemimpin bersama JETP diambil alih oleh Jerman. Wakil Kepala Misi Kedutaan Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia, Thomas Graf, menyatakan bahwa Jerman berkomitmen untuk memperdalam keterlibatannya dalam kemitraan ini. Jerman telah mengumumkan pendanaan dalam bentuk hibah dan bantuan teknis senilai 94,58 juta Euro.

Putra Adhiguna menekankan bahwa tantangan utama transisi energi di Indonesia bukanlah pendanaan, melainkan bagaimana pemerintah dapat menetapkan target jangka pendek yang jelas dan kredibel. Ia menilai bahwa fokus seharusnya bukan pada target 2050, melainkan pada proyek konkret dalam 1-2 tahun ke depan untuk menarik minat investor.

Hingga Juni 2024, Sekretariat JETP Indonesia mencatat adanya hibah dan bantuan teknis senilai $281,6 juta yang telah teralokasi ke dalam berbagai program transisi energi. Pada awal pembentukannya, Kelompok Mitra Internasional yang saat itu dipimpin oleh AS dan Jepang berkomitmen mengalokasikan dana sebesar $20 miliar dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak untuk mendukung transisi energi Indonesia.

Editor: Agung