Dari Krisis ke Harapan: Upaya Korea Selatan dalam Mendorong Pertumbuhan Keluarga

Nam Hyun-jin merawat bayinya di rumahnya di Seoul, Korea Selatan, 17 Februari 2025. (Daewoung Kim/REUTERS)

J5NEWSROOM.COM, Seoul – Saat Nam Hyun-jin pertama kali memiliki anak lima tahun lalu, ia merasa ragu apakah Korea Selatan adalah tempat yang tepat untuk membangun keluarga besar. Namun, pandangannya berubah setelah menerima bonus kelahiran sebesar $70.000 dari perusahaannya, Booyoung Group.

Pada 2023, Korea Selatan mencatat angka kelahiran terendah di dunia, tetapi data awal yang dirilis pekan ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan pada tahun lalu. Nam, yang kini memiliki dua anak, merasa didukung oleh perusahaannya yang memastikan bahwa perannya sebagai ibu tidak menghambat kariernya.

“Budaya perusahaan yang mendorong pertumbuhan keluarga memberikan bantuan besar. Masyarakat pun kini lebih mendukung kelahiran dibandingkan lima tahun lalu saat anak pertama kami lahir,” ujar Nam.

Tak hanya dari tempat kerja, pemerintah juga memberikan insentif seperti keringanan pajak untuk bonus kelahiran. Upaya kolektif ini mulai menunjukkan hasil dengan peningkatan angka kelahiran dari 0,72 pada 2023 menjadi 0,75 pada 2024. Meski kecil, perubahan ini membawa harapan bagi Korea Selatan yang menghadapi ancaman krisis populasi, mirip dengan Jepang dan Italia yang juga bergulat dengan angka kelahiran rendah meski mendapat dukungan pemerintah.

Direktur Statistik Korea, Park Hyun-jung, mengungkapkan bahwa lebih banyak pasangan menikah setelah tertunda akibat pandemi, serta adanya perubahan sikap yang lebih positif terhadap kelahiran. Pemerintah pun menargetkan angka kelahiran mencapai 1 anak per perempuan pada 2030, dengan berbagai insentif seperti pemotongan pajak sebesar $350 untuk pasangan baru hingga 2026.

Namun, Profesor Jung Jae-hoon dari Seoul Women’s University menilai insentif tersebut masih kurang. Ia menekankan perlunya perubahan paradigma menuju struktur keluarga yang lebih demokratis dan setara gender, serta dukungan pengasuhan anak yang lebih luas dalam masyarakat dan lingkungan kerja yang ramah keluarga.

Meski demikian, sebagian anak muda Korea Selatan tetap skeptis. Mereka menganggap menjadi orang tua sebagai beban finansial dan khawatir akan stabilitas karier mereka.

“Kami harus mengeluarkan banyak uang untuk menikah dan memiliki anak, sehingga hal itu tidak terlalu diminati di masyarakat Korea,” kata seorang responden kepada Reuters.

Meski dampaknya belum dapat dipastikan, pemerintah berencana terus mendorong transparansi kebijakan perusahaan terkait dukungan bagi orang tua. Mulai tahun ini, perusahaan yang terdaftar wajib melaporkan data pengasuhan anak kepada pemerintah, sementara usaha kecil bisa memperoleh insentif jika memberikan dukungan bagi keluarga pekerjanya.

Editor: Agung