
J5NEWSROOM.COM, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan bahwa aksi mahasiswa dengan tagar “Indonesia Gelap” merupakan bentuk akumulasi kekecewaan atas harapan besar yang mereka miliki terhadap negara. Mantan Ketua DPD ini mengaku menghormati pandangan dan pendapat para mahasiswa, namun ia juga mengajak mereka untuk berpikir lebih kritis dalam mengoreksi berbagai persoalan di Indonesia, terutama terkait konstitusi yang harus diperkuat agar bangsa ini kembali berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.
Hal ini disampaikan LaNyalla saat menjadi pembicara utama dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan tema “Kembali ke UUD 1945 untuk Menjaga Keutuhan NKRI” di Surabaya, beberapa waktu lalu. Ia menekankan bahwa sejarah penjajahan, dari era VOC hingga kini, terus berlanjut dalam bentuk kolonialisme modern melalui liberalisasi di berbagai sektor yang dilakukan oleh kapitalis neo-liberal secara sistematis.
Menurutnya, setelah Perang Dunia II, negara-negara maju tetap berupaya menguasai negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan strategi baru yang disebut neo-liberalisme. Soekarno dan Hatta pada awalnya menolak gagasan ini karena menyadari bahwa liberalisme hanya akan menjadikan Indonesia sebagai koloni dalam bentuk lain. Namun, pengaruh barat semakin kuat hingga akhirnya gerakan liberalisme mulai berkembang pesat pada era Soeharto, mencapai puncaknya saat reformasi dengan amandemen UUD 1945 yang mengubah hampir 95 persen konstitusi Indonesia.
LaNyalla menilai bahwa sejak reformasi, sistem ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar, sementara sistem politik mengadopsi pola “one man, one vote,” menggantikan musyawarah mufakat. Akibatnya, menurutnya, oligarki semakin menguasai politik dan ekonomi, membuat Indonesia semakin terjerat dalam sistem kapitalis.
Dalam kesempatan tersebut, LaNyalla mempertanyakan hasil reformasi bagi kesejahteraan rakyat. Ia menyoroti bagaimana kekayaan alam dieksploitasi, sementara rakyat justru harus bergantung pada bantuan sosial yang semakin besar setiap tahunnya. Ia juga menegaskan bahwa utang negara terus bertambah, sementara investasi asing tidak memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Di akhir paparannya, LaNyalla mengajak mahasiswa untuk kembali memahami pemikiran para pendiri bangsa dan menghayati perjuangan mereka dalam melawan penjajahan. Ia menegaskan bahwa sistem yang paling cocok bagi Indonesia adalah sistem yang berbasis pada nilai-nilai asli bangsa, yakni gotong royong, kekeluargaan, dan kemandirian ekonomi yang berpihak pada rakyat.
LaNyalla menekankan bahwa kembali ke Pancasila tidak berarti kembali ke Orde Baru, karena justru di era tersebut pintu bagi kapitalisme global mulai terbuka. Oleh karena itu, ia mengajak semua elemen bangsa untuk kembali ke UUD 1945 versi asli, lalu memperbaikinya agar tidak terjadi penyimpangan seperti di masa lalu.
Selain itu, ia juga menyoroti kebijakan pemerintah yang perlu dikritisi, termasuk program makan bergizi gratis yang dinilainya tidak berjalan sesuai harapan. Ia lebih mendukung gagasan pendidikan gratis daripada sekadar makan gratis.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari perguruan tinggi di Surabaya, termasuk BEM Universitas Airlangga (Unair), BEM Universitas Negeri Surabaya (Unesa), BEM Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), BEM Universitas Hang Tuah (UHT), BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UHT, BEM Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), BEM Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), BEM Universitas Bhayangkara (Ubhara), serta perwakilan Sapma Pemuda Pancasila Surabaya dan Plt. Ketua Umum Kadin Jawa Timur, Diar Kusuma Putra. Hadir pula sebagai narasumber Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Jatim, M. Agus Diah Muslim.
Editor: Agung