
Catatan Cak AT
Babak Pertama: Kedai Kopi, 2018
DI SEBUAH kedai kopi premium di sudut Jakarta, tujuh pria duduk melingkar di ruang tertutup paling pojok. Kopi hitam tersaji, gorengan sudah mendingin, dan di antara kepulan asap rokok, sebuah konspirasi besar sedang dibangun.
Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, membuka kongkow dengan nada santai.
“Kita ini bukan sembarang pengusaha. Kita ini maestro keuangan negara. Kalau ada orang bodoh yang korupsi miliaran dan tertangkap, itu salah mereka. Kita harus berpikir triliunan, baru aman. Encer sogok sana-sini.”
“Setuju,” Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock and Product Optimization, menyeringai. “Langkah pertama, kita buat produk minyak dalam negeri kelihatan tidak layak. Kalau rakyat protes, kita bilang ini demi efisiensi.”
Di kursi pojok, Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, menambahkan, “Dan kalau minyak dalam negeri nggak kita pakai, otomatis kita bisa mengekspornya dengan harga murah. Pasti banyak yang mau.”
“Betul,” kata Agus Purwono, VP Feedstock Management, mengangguk. “Setelah kita ekspor, kita impor minyak dari luar dengan harga yang kita buat lebih mahal. Fee-nya? Masuk ke kantong kita.”
Si broker minyak, Muhammad Kerry Andrianto Riza, tertawa kecil. “Hebatnya, yang kita impor itu sebenarnya minyak kita sendiri, yang tadi kita ekspor. Muter-muter di situ aja.”
“Kita bikin mekanisme yang begitu rumit, sampai kalau ada yang coba bongkar, mereka malah bingung sendiri,” timpal Dimas Werhaspati, komisaris yang mengendalikan perantara, seraya tertawa.
Di sebelah barat, Gading Ramadhan Joedo menyesap kopinya. “Satu lagi. Kalau ada yang curiga, kita bikin seminar. Bicara soal ‘tantangan energi global’, ‘ketahanan energi’, pokoknya pakai istilah keren.”
Mereka bersulang dengan cangkir kopi masing-masing. Konspirasi sempurna, dan mereka yakin, tak ada yang bisa menyentuh mereka. Semua rencana berjalan mulus, berkat sogok sana-sini, dengan duit korupsi triliunan rupiah.
Mau dikata Pertamax dioplos atau di-blended, terserah. Mau mesin mobil jutaan rakyat rusak atau tidak, itu urusan mereka. Persetan dengan itu semua.
== *** ==
Babak Kedua: Kongkow Darurat, 2025
Tujuh tahun berlalu, dan di kedai kopi yang sama, tujuh pria itu duduk lagi. Kali ini, bukan untuk merancang skema baru, tapi mencari jalan keluar.
Di meja mereka, koran-koran berserakan, semua dengan tajuk yang sama:
“Kejaksaan Agung Sedang Mengusut Kasus Korupsi BBM. Kerugian Negara Ditaksir Rp 193,7 Triliun.”
Riva Siahaan menatap rekan-rekannya. “Kita punya waktu seminggu sebelum mereka menyebut nama kita. Kita harus siap.”
Sani Dinar Saifuddin mendesah. “Jalan terbaik? Pergi ke luar negeri. Kita punya banyak koneksi.”
Yoki Firnandi mengangguk. “Saya bisa atur kapal ke Singapura. Dari sana, kita bisa ke Dubai atau Turki. Aman.”
Agus Purwono menambahkan, “Tapi kita harus pisah-pisah. Jangan pergi bareng, biar nggak ketahuan.”
Muhammad Kerry Andrianto Riza mengetik sesuatu di ponselnya. “Saya punya kontak di Karibia. Visa bisa diurus cepat.”
Dimas Werhaspati menghela napas. “Tapi kalau kita lari, bukankah kita mengakui kejahatan kita?”
Gading Ramadhan Joedo tertawa getir. “Lari atau nggak lari, kita tetap koruptor. Bedanya, kalau kita lari, kita koruptor yang bebas.”
Mereka tertawa hambar. Tak ada lagi canda dan gurau seperti tujuh tahun lalu. Kini, mereka sedang mempertaruhkan nasib.
== *** ==
Babak Ketiga: Tangkap Tujuh Sekawan
Tiga hari kemudian, berita besar mengguncang negeri:
“Kejaksaan Agung Berhasil Menangkap Tujuh Mafia Minyak di Tempat Terpisah!”
Riva Siahaan diciduk di Bandara Soekarno-Hatta, hendak terbang ke Dubai.
Sani Dinar Saifuddin ditangkap di rumahnya di kawasan elite, masih mengenakan piyama sutra.
Yoki Firnandi dan Agus Purwono digelandang dari sebuah hotel bintang lima di Singapura, sebelum sempat naik kapal pesiar.
Muhammad Kerry Andrianto Riza dibekuk di sebuah vila mewah di Bali.
Dimas Werhaspati ditangkap saat sedang makan malam bersama keluarganya.
Gading Ramadhan Joedo, yang merasa aman di sebuah resor di Lombok, akhirnya tak bisa lolos dari jeratan hukum.
Di televisi, wajah mereka terpampang jelas. Rakyat yang selama ini membeli BBM dengan harga tinggi akhirnya tahu ke mana perginya uang mereka.
Lalu muncullah Presiden Prabowo Subianto, dengan pernyataan sederhana namun menggetarkan:
“Lagi diurus semuanya. Kita bersihkan. Kita tegakkan. Kita akan membela kepentingan rakyat.”
Tak ada yang perlu ditambahkan. Pesan itu jelas.
Di ruang tahanan, tujuh sekawan minyak duduk berjejer. Tak ada lagi kopi hitam, tak ada gorengan, tak ada rencana besar. Yang tersisa hanya sunyi, dan sebuah kenyataan pahit:
Permainan telah berakhir. Layar pentas pertunjukkan drama telah ditutup. Atau, baru dimulai?*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 2/3/2025
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995