
J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan deflasi bulanan pada Februari 2025, satu bulan menjelang Ramadan, di saat tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat. Fenomena ini menjadi perhatian karena berbeda dengan Februari tahun sebelumnya yang justru mengalami inflasi.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan bahwa Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen dan deflasi bulanan sebesar 0,48 persen pada Februari 2025. Deflasi ini telah berlangsung sejak Januari lalu dan dinilai sebagai fenomena langka. Menurut catatan BPS, deflasi year on year terakhir kali terjadi pada Maret 2000, sebesar 1,10 persen, yang saat itu didominasi oleh penurunan harga bahan makanan.
Amalia menjelaskan bahwa deflasi kali ini terutama disebabkan oleh kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen pada Januari-Februari 2025. Ia menegaskan bahwa fenomena ini bukan akibat penurunan daya beli masyarakat, melainkan karena intervensi kebijakan pemerintah. Selain diskon tarif listrik, deflasi juga dipengaruhi oleh penurunan harga di sektor perumahan, bahan bakar rumah tangga, serta bahan makanan seperti beras, tomat, dan cabai.
Meski terjadi deflasi, komponen inflasi inti masih mencatat kenaikan sebesar 0,25 persen, dengan andil inflasi sebesar 0,16 persen. Komoditas yang memberikan kontribusi terhadap inflasi inti meliputi emas perhiasan, kopi bubuk, dan mobil.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy, menyatakan bahwa deflasi yang terjadi memang sejalan dengan kebijakan diskon tarif listrik. Namun, ia masih meragukan apakah deflasi ini menjadi tanda melemahnya daya beli masyarakat. Menurutnya, daya beli masih terjaga karena inflasi inti tetap positif, menunjukkan adanya permintaan terhadap barang dan jasa. Namun, ia mengingatkan bahwa indikator lain seperti tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan data penjualan ritel perlu diperhatikan untuk menilai kondisi daya beli masyarakat secara lebih menyeluruh.
Sementara itu, peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, menilai bahwa diskon tarif listrik tidak bisa dianggap sebagai satu-satunya penyebab deflasi. Ia mencatat bahwa tren deflasi telah terjadi sejak 2024, ketika Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September. Jika deflasi ini terus berlanjut meskipun kebijakan diskon tarif listrik bersifat sementara, hal itu bisa menjadi indikasi bahwa daya beli masyarakat memang tertekan.
Shofie juga menyoroti bahwa deflasi menjelang Ramadan adalah fenomena tidak lazim, mengingat biasanya konsumsi masyarakat meningkat pada periode ini. Ia menyebut ada kemungkinan bahwa masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya atau bahkan mengalami penurunan pendapatan akibat PHK dan kondisi ekonomi yang tidak mendukung pertumbuhan upah.
Fenomena deflasi bukan hanya terjadi di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Amerika Serikat pernah mengalami beberapa periode deflasi, seperti pada 1815-1860 dan 1865-1900. Salah satu periode deflasi paling parah terjadi selama Depresi Besar antara 1930-1933. Pada abad ke-21, deflasi juga terjadi selama Resesi Besar 2007-2009, yang dipicu oleh krisis pasar perumahan dan anjloknya nilai sekuritas berbasis hipotek.
Dengan situasi ini, pemerintah diharapkan terus memantau perkembangan ekonomi agar dapat mengantisipasi dampak lebih lanjut dari tren deflasi, terutama menjelang Ramadan, saat konsumsi masyarakat seharusnya meningkat.
Editor: Agung