Elemen Masyarakat Tolak Proyek Geothermal di Mataloko, Minta Bupati Ngada Batalkan Rencana

Koalisi Masyarakat Flores Tolak Geothermal (KMF-TG) saat menggelar aksi di depan Kementerian ESDM. (Foto: Dok. KMF-TG)

J5NEWSROOM.COM, Bajawa – Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores (ALTER KGF) mendesak Bupati Kabupaten Ngada untuk membatalkan proyek pembangunan geothermal di Mataloko. Desakan ini disampaikan dalam surat resmi bernomor 001/12/03/025-AlterKGF tertanggal 12 Maret 2025, bersamaan dengan aksi solidaritas yang digelar di Bajawa.

Aliansi ini terdiri dari berbagai kelompok peduli lingkungan dan pangan, antara lain Forum Pemuda Peduli Lingkungan Hidup Paroki Roh Kudus Mataloko, Forum Peduli Keutuhan Lingkungan Terdampak Geothermal Paroki Santo Yoseph Laja, serta sejumlah komisi keadilan dan perdamaian dari berbagai lembaga keagamaan.

Menurut ALTER KGF, proyek geothermal di Mataloko saat ini telah merambah ke lahan pertanian masyarakat adat seluas sekitar 996,2 hektare. Lahan tersebut merupakan sumber kehidupan utama warga setempat. Mereka menilai pemerintah Kabupaten Ngada seharusnya lebih mengutamakan kebutuhan masyarakat dan kelestarian lingkungan dibandingkan proyek geothermal yang dinilai tidak memberikan kesejahteraan bagi warga sekitar.

ALTER KGF menyoroti bahwa kebijakan ini bertentangan dengan program ketahanan pangan nasional. Mereka menyesalkan konversi lahan pertanian produktif menjadi area industri yang justru berpotensi merusak lingkungan dan mengancam produksi pangan.

“Jika seluruh proyek geothermal ini terealisasi, ribuan hektare lahan pertanian akan hilang. Kami pun bertanya, kami harus hidup di mana dan makan apa? Lebih penting mana: kehidupan kami atau proyek geothermal dan investornya?” demikian pernyataan ALTER KGF dalam aksinya.

Kelompok ini juga mengancam akan menduduki kantor proyek geothermal jika pemerintah tetap memaksakan pembangunan. Menurut mereka, proyek ini bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan investor.

Selain ancaman terhadap pertanian, ALTER KGF menyoroti dampak lingkungan yang telah dirasakan masyarakat. Mereka mengungkapkan bahwa proyek ini berpotensi mencemari sumber air bersih, memicu konflik agraria, dan mengancam keberadaan komunitas masyarakat adat beserta situs-situs ritual dan budaya mereka.

“Sudah ada peristiwa konflik keluarga yang berujung pada pembunuhan akibat sengketa lahan terkait proyek ini. Selain itu, warga juga mengalami kerusakan rumah akibat aktivitas geothermal,” ujar perwakilan ALTER KGF.

Perlawanan terhadap proyek geothermal di Flores telah menarik perhatian internasional. Human Rights Council (HRC) di Jenewa, Swiss, telah menerima laporan dari VIVAT International, sebuah LSM yang berafiliasi dengan Departemen Komunikasi Global PBB dan memiliki status pengamat di United Nations Environment Programme (UNEP) serta United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Sebelumnya, pada 8 Maret 2025, kelompok Solidaritas Perempuan Flobamoratas juga mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Menurut mereka, investasi panas bumi telah merampas ruang hidup perempuan di Flores.

Sejalan dengan tuntutan tersebut, ALTER KGF meminta Bupati dan DPRD Ngada untuk mendesak Menteri ESDM agar mencabut keputusan tersebut demi keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Mereka berharap pemerintah daerah dan gereja Katolik setempat dapat berpihak pada kepentingan warga dan menjaga kelestarian lingkungan serta hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka. (RILIS)

Editor: Agung