Kebijakan Perdagangan AS Membayangi Pergerakan IHSG dan Rupiah

Seorang pria berjalan di samping layar Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, 2 Januari 2023. (ADEK BERRY / AFP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Ekonom perbankan Josua Pardede menilai pergerakan IHSG dan rupiah masih akan dipengaruhi oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang cenderung berubah-ubah dan diumumkan secara cepat.

Josua mencontohkan bagaimana Trump awalnya berencana menerapkan tarif ekspor 50 persen untuk baja dan aluminium dari Kanada, namun kemudian membatalkannya setelah provinsi Ontario membatalkan pungutan listrik tambahan bagi pelanggan di Amerika. Meski demikian, mulai 12 Maret, Trump tetap menerapkan tarif 25 persen untuk baja dan aluminium dari 35 negara, termasuk Kanada dan 27 negara Uni Eropa.

Menurut Josua, kebijakan Trump ini memicu ketidakpastian yang berimbas negatif pada pasar. Meski demikian, respons IHSG masih positif dengan kenaikan 1,6 persen dan pasar obligasi juga mengalami peningkatan. Namun, ketidakpastian ini juga membuat pasar saham global fluktuatif. Indeks saham Nasdaq dan Dow Jones di Amerika masing-masing terkoreksi empat dan dua persen, sementara di Asia hanya IHSG, Nikkei, dan Strait Times yang masih berada di zona hijau.

Di sisi lain, rupiah masih melemah hingga pertengahan minggu. Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turun ke Rp16.452 atau melemah 0,27 persen. Meskipun begitu, IHSG justru menguat 1,87 persen dan ditutup di level 6.665,09.

Josua optimistis bahwa implementasi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) yang mewajibkan parkir dana ekspor di dalam negeri selama 12 bulan dapat meningkatkan kepercayaan investor. Namun, ia menekankan bahwa investor asing masih berhati-hati terkait arah kebijakan pemerintah Amerika.

Sementara itu, ekonom CSIS Muhammad Habib menilai ketidakpastian kebijakan Trump akan menyulitkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak perusahaan besar yang memilih berinvestasi kembali di Amerika untuk menghindari tarif tinggi. Hal ini berpotensi mengurangi aliran investasi ke negara-negara emerging market seperti Indonesia.

Habib menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa menghadapi proteksionisme dengan proteksionisme, melainkan harus lebih terbuka dalam perdagangan global. Ia menyarankan pemerintah untuk memperluas perjanjian dagang dengan negara lain, seperti mempercepat ratifikasi Indonesia-Kanada, meningkatkan kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa, Jepang, dan Australia, serta mengadopsi standar perdagangan yang lebih tinggi untuk menarik investasi.

Editor: Agung