
J5NEWSROOM.COM, Sejumlah mitra dagang utama Amerika Serikat mengumumkan langkah balasan pada Rabu, 12 Maret 2025, setelah kebijakan tarif impor baja dan aluminium yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump mulai efektif. Langkah-langkah ini langsung ditanggapi oleh Trump dengan janji untuk merespons kebijakan balasan tersebut.
Tarif sebesar 25 persen mulai diterapkan tanpa pengecualian, meskipun beberapa negara sebelumnya telah berusaha menghindarinya. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari bea masuk yang sebelumnya telah dikenakan Trump terhadap Kanada, Meksiko, dan China sejak ia kembali menjabat sebagai presiden.
Uni Eropa dengan cepat merespons dengan mengumumkan tarif balasan yang menargetkan barang-barang asal Amerika Serikat senilai sekitar 28 miliar dolar AS, yang akan diterapkan secara bertahap mulai April. Kanada juga memberlakukan tarif tambahan terhadap produk-produk AS senilai 20,7 miliar dolar AS mulai Kamis, 13 Maret. Sementara itu, China berjanji akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai respons terhadap kebijakan AS, sehingga meningkatkan ketegangan dagang antara kedua negara.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyatakan bahwa langkah balasan ini disayangkan tetapi diperlukan sebagai bentuk tindakan yang sepadan. Menanggapi hal ini, Trump menegaskan bahwa Washington akan merespons dengan langkah-langkah yang diperlukan. Ia juga menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan terus diperlakukan tidak adil dalam perdagangan global dan yakin akan memenangkan “pertempuran finansial” ini.
Kanada, yang menjadi salah satu negara yang paling terdampak oleh tarif baja dan aluminium AS, telah menyiapkan daftar barang yang akan dikenakan tarif balasan, termasuk produk baja, aluminium, hingga barang elektronik dan peralatan olahraga. Namun, Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, mengisyaratkan kesiapannya untuk bernegosiasi langsung dengan Trump guna mencari kesepakatan perdagangan baru yang dapat menghindari dampak ekonomi yang lebih luas.
Menurut catatan Kepala Ekonom EY, Gregory Daco, Kanada memasok sekitar 50 persen dari total impor aluminium AS dan 20 persen dari total impor baja negara tersebut. Selain Kanada, Brasil dan Meksiko juga merupakan penyuplai baja utama AS, sementara Uni Emirat Arab dan Korea Selatan menjadi pemasok utama aluminium.
Sementara itu, Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, mengecam kebijakan balasan Uni Eropa dan menilai bahwa tindakan tersebut tidak mencerminkan realitas ekonomi global. Ia juga menyalahkan Eropa karena tidak membantu mengatasi kelebihan kapasitas produksi baja di pasar dunia. Pernyataan ini disampaikan setelah Ketua Dewan Eropa, Antonio Costa, menyerukan agar Washington menahan diri dan lebih mengedepankan dialog.
Kanselir Jerman, Olaf Scholz, juga mengecam langkah AS sebagai kebijakan yang keliru dan memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memicu inflasi. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri China menegaskan bahwa tidak ada pemenang dalam perang dagang.
Para ekonom memperkirakan bahwa tarif ini dapat meningkatkan biaya produksi bagi industri yang bergantung pada baja dan aluminium, termasuk sektor otomotif dan konstruksi. Hal ini dikhawatirkan akan berujung pada kenaikan harga barang konsumsi seperti mobil dan kaleng minuman di pasar AS.
Di tengah ketidakpastian ini, pasar keuangan global sempat mengalami gejolak. Indeks utama di Wall Street turun selama dua hari berturut-turut sebelum akhirnya sedikit pulih, sementara pasar saham di Asia, termasuk di Hong Kong dan Shanghai, juga mengalami penurunan pada Rabu, 12 Maret.
Trump telah menargetkan komoditas baja dan aluminium sejak periode pertama kepemimpinannya dan berjanji akan menerapkan tarif tambahan pada 2 April mendatang sebagai langkah lebih lanjut dalam kebijakan proteksionismenya. Tidak adanya pengecualian dalam kebijakan tarif yang berlaku saat ini memicu kekecewaan di berbagai negara mitra AS, termasuk Australia dan Jepang, yang sebelumnya berharap mendapatkan perlakuan khusus. Tokyo menyatakan kekecewaannya, sementara Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menilai kebijakan tersebut tidak berdasar. Meskipun demikian, baik Australia maupun Inggris memutuskan untuk tidak menerapkan langkah balasan terhadap AS.
Editor: Agung