Jurnalistik di Era Klikbait dan AI: Tantangan Menjadi Wartawan Berkualitas

Alexander Sudrajat (kanan) dan Nurcholis MA Basyari saat sesi Journalism Fellowship on CSR melalui Zoom Meeting, Senin (21/4/2025). (Foto: DOK JFC)

J5NEWSROOM.COM, Di tengah derasnya arus informasi digital, profesi wartawan dihadapkan pada tantangan baru yang tidak bisa diabaikan: era klikbait dan kehadiran kecerdasan buatan (AI). Perubahan pola konsumsi berita yang kini bergantung pada algoritma membuat sebagian media online lebih mengejar kecepatan dan viralitas daripada akurasi dan kedalaman informasi. Dalam sesi bertema “Wartawan Berkualitas di Era Klik Bait”, Alexander Sudrajat menyoroti pentingnya mempertahankan prinsip-prinsip jurnalisme di tengah godaan trafik dan mesin pencari.

Media digital masa kini tak jarang mengedepankan strategi search engine optimization (SEO) dan pemanfaatan kata kunci demi menarik klik. Judul berita sering kali sensasional, tak sepenuhnya merepresentasikan isi, bahkan kadang menjadikan komentar netizen sebagai sumber utama informasi. Fenomena ini dikenal sebagai jurnalisme klikbait, di mana nilai utama jurnalistik dikalahkan oleh kebutuhan mendesak untuk tampil trending. “Materi tak sesuai judul, sering kali satu sumber, dan minim verifikasi. Itulah potret jurnalisme klikbait hari ini,” ujar Alexander.

Ia menegaskan bahwa jurnalisme berkualitas seharusnya tetap berpijak pada prinsip akurasi, keberimbangan, dan verifikasi. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak berita yang hanya mengandalkan sumber yang tidak jelas, atau bahkan tidak ada verifikasi sama sekali. “Berita yang berdampak harus faktual, terverifikasi, dan memenuhi kode etik jurnalistik,” tegasnya.

Dalam kondisi seperti ini, media bukan hanya kehilangan kepercayaan publik, tapi juga berisiko menyebarkan disinformasi yang dapat merugikan masyarakat luas. Data dari Dewan Pers menunjukkan tren peningkatan pengaduan publik terhadap media. Pada 2018 tercatat 347 pengaduan, dan terus meningkat hingga mencapai 813 kasus pada 2023. Sebagian besar sengketa ini berkaitan dengan judul berita yang menghakimi tanpa konfirmasi, menunjukkan bagaimana praktik klikbait berpotensi menabrak etika jurnalistik.

Di sisi lain, AI juga membawa dilema tersendiri. Di satu pihak, AI bisa mempercepat proses penulisan dan distribusi berita. Namun jika tak digunakan dengan bijak, kehadirannya justru bisa memperparah praktik jurnalisme instan dan dangkal. AI yang hanya mengejar keterbacaan dan engagement dapat mengabaikan nilai-nilai dasar jurnalistik seperti integritas dan tanggung jawab.

Untuk menjawab tantangan ini, Alexander menyampaikan sejumlah tips praktis, terutama bagi wartawan pemula. “Jangan buru-buru. Verifikasi sebelum publikasi,” pesannya kepada para peserta. Ia menyarankan agar wartawan muda lebih fokus pada nilai berita daripada sekadar mengejar klik. “Fokuslah pada nilai berita, bukan hanya trafik. Belajarlah dari media yang kredibel dan bangun reputasi personal sebagai wartawan serba bisa,” tambahnya.

Di tengah tekanan algoritma dan mesin pencari, wartawan masa kini dituntut untuk tidak kehilangan arah. Jurnalisme bukan sekadar produksi konten, tapi sebuah komitmen pada kebenaran, keadilan, dan kepentingan publik. Menjadi wartawan berkualitas di era klikbait dan AI bukan hal mudah, tapi sangat mungkin jika setiap insan pers bersedia kembali ke akar nilai jurnalisme itu sendiri.

Editor: Agung