Transformasi Bank DKI, Digitalnya Ketinggalan Indonesia

Ilustrasi artikel Ahmadie Thaha tentang digitalisasi Bank DKI. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

BULAN lalu saya mengalami sebuah petualangan kecil, yang sayangnya lebih mendekati thriller birokrasi ketimbang perjalanan digital ala fintech kekinian. Ceritanya, saya dan istri ingin memperpanjang masa berlaku kartu TransJakarta yang sudah kami gunakan selama satu tahun.

Dengan penuh harapan dan ekspektasi zaman cloud, kami melangkah masuk ke kantor Bank DKI di jalan protokol ibu kota. “Ah, ini pasti tinggal tap-tap, klik-klik, selesai,” pikir saya. Ternyata tidak. Petugas dengan tenang menyuruh kami pergi. “Perpanjangan harus ke kantor pusat TransJakarta di Halim,” katanya.

Kami pun ke Halim. Tapi di sana, kejutan lain menanti. Lagi-lagi kami disuruh balik ke kantor Bank DKI. Barangkali mereka pikir kami memang sedang tour de bureaucracy. Ternyata, hanya kantor-kantor Bank DKI tertentu yang tersambung ke sistem layanan —selebihnya cuma jadi tempat bertanya arah.

Alamak. Saya pikir, betapa jadulnya bank kebanggaan warga Jakarta ini. Di sinilah saya merasa seperti menonton ulang film lawas dalam resolusi VHS yang buram. Bank DKI —yang menurut berita sedang menuju transformasi global, tampaknya masih tersangkut di kabel telepon zaman Pager.

IT-nya barangkali tersambung, tapi entah tersambung ke mana. Layanan publik yang mestinya digital dan serba mudah, justru terasa seperti permainan petak umpet. Mau perpanjang kartu? Silakan ke sana. Sudah sampai sana? Oh, salah. Balik lagi ya ke kantor lainnya yang konon tersambung ke sistem TransJakarta.

Padahal, Bank DKI adalah bank resmi satu-satunya yang memfasilitasi pembayaran kartu TransJakarta. Artinya, sistem mereka seharusnya sudah tersinkronisasi. Tapi yang kami alami justru seperti nonton reboot film 90-an yang gagal: jalan ceritanya bolong-bolong, karakternya hilang arah, dan ending-nya? Ya, tamat sebelum klimaks. Gagal total.

Apa ini ada hubungannya dengan pencopotan Direktur IT Bank DKI pasca gangguan layanan sistem bulan Maret lalu? Bisa jadi. Apalagi jika mengingat betapa parahnya gangguan itu: ATM mati, aplikasi mogok, dan layanan terhambat. Tapi tak usah khawatir, katanya data dan dana nasabah tetap aman—walau kita tidak bisa akses apa-apa. Seperti punya rumah, tapi kuncinya ditahan satpam.

Padahal, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, baru-baru ini menyatakan bahwa Bank DKI harus naik kelas. Tidak cukup menjadi bank daerah biasa, tapi harus bisa masuk Top 50 Global Cities Club (versi lembaga mana, tidak jelas). Maka, diumumkanlah rebranding besar-besaran.

Konon, mau ganti nama segala. Mungkin biar lebih global, seperti “Jakarta Global Bank”, atau “DKI United”? Namun seperti kata pepatah, “Ganti nama tak serta-merta ganti nasib.” Kalau pelayanan tetap seperti zaman Orde Baru, mau pakai nama NeoBank Jakarta 5.0 pun tetap terasa seperti antri di loket fotokopi.

Apalagi jika sistem TI yang katanya sedang dipulihkan itu, lebih sering mogok daripada nyala. Fahira Idris, senator DKI, bahkan bilang digitalisasi Bank DKI tidak boleh setengah hati. Sayangnya, yang kita temui: sistem setengah jadi, pelayanan setengah jalan, dan komplain yang ditangani setengah hati.

Tapi mari kita tetap konstruktif. Transformasi digital itu bukan sekadar punya aplikasi mobile yang tampilannya seperti hasil tugas akhir mahasiswa desain. Fahira Idris bahkan mengusulkan poin-poin transformasi yang layak dipertimbangkan, agar Bank DKI sesuai dengan harapan warga.

Salah satunya, digitalisasi sejati adalah ketika warga lansia bisa dengan mudah memperpanjang kartu mereka di kantor Bank DKI mana pun, di seluruh pelosok Jakarta. Warga bisa berurusan dengan bank ini tanpa harus odyssey dari satu gedung ke gedung lain seperti main The Amazing Race. Itu baru layanan kelas global.

Transformasi itu bukan hanya soal mencopot Direktur IT setelah insiden, tapi membenahi budaya kerja, sistem audit, pelatihan SDM IT yang layak, serta transparansi layanan. Bahkan, Bank DKI seharusnya bisa jadi pionir perbankan publik di Indonesia, bukan hanya papan nama yang diganti, tetapi sistem yang tetap jadul.

Karena itu, wahai Bank DKI, jika memang ingin menjadi bank global, mulailah dari hal yang paling lokal: permudah pelayanan untuk wargamu sendiri. Jangan sampai lansia harus naik-turun transportasi demi selembar kartu, hanya karena sistem IT Anda belum bisa membedakan data warga Halim dengan data warga Jakarta Selatan.

Jika tidak, ya sudahlah, mungkin kita bisa kirim saran rebranding yang lebih jujur: Bank DKI – Digitalnya Ketinggalan Indonesia.

Tapi kan kita tidak ingin itu, bukan? Kita ingin Bank DKI menjadi kebanggaan Jakarta. Tapi kebanggaan itu tidak dibangun dengan jargon dan brosur, melainkan dengan kerja nyata — dan tentu, sistem yang tidak menyuruh orang tua lari estafet dari Halim ke Tanah Abang hanya demi selembar kartu.*

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 22/4/2025

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995