
J5NEWSROOM.COM, Pemerintah Jepang menyatakan harapannya untuk segera merampungkan kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat, dengan target pencapaian pada bulan Juni. Kepala negosiator Jepang, Ryosei Akazawa, mengungkapkan bahwa diskusi bilateral lanjutan dijadwalkan berlangsung pada pertengahan Mei setelah putaran perundingan terakhir di Washington selesai.
Akazawa menjelaskan bahwa pertemuan mendatang akan melibatkan pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent, Perwakilan Dagang Jamieson Greer, dan Menteri Perdagangan Howard Lutnick, bersama dengan delegasi utama Jepang. Ia menekankan bahwa pembahasan akan dilakukan secara jujur dan terbuka, meski masih banyak bidang diskusi yang perlu dirinci lebih lanjut.
Dalam wawancara yang dikutip Bloomberg pada Sabtu, 3 Mei 2025, Akazawa kembali menyuarakan keberatan Jepang terhadap kebijakan tarif luas Presiden AS Donald Trump. Ia berharap langkah-langkah tarif tersebut dapat dikaji ulang.
Sementara itu, pernyataan baru muncul dari Menteri Keuangan Jepang, Katsunobu Kato, yang membuka kemungkinan menjadikan kepemilikan besar Jepang atas Obligasi Pemerintah AS sebagai daya tawar dalam negosiasi. Namun, Kato juga menyatakan bahwa keputusan untuk menggunakan “kartu” itu belum tentu akan diambil.
Pandangan Kato ini sedikit berbeda dari pernyataan kepala kebijakan partai berkuasa, Itsunori Onodera, pada April lalu yang menegaskan bahwa Jepang, sebagai sekutu AS, tidak akan mengambil tindakan terhadap obligasi AS secara sengaja.
Akazawa menegaskan bahwa selama pembicaraan di Washington, topik mengenai cadangan devisa, isu keamanan nasional, atau Tiongkok tidak menjadi pembahasan.
Ia berharap percepatan perundingan akan memungkinkan tercapainya kesepakatan antara Presiden Trump dan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba pada bulan Juni. Pasalnya, Jepang merasakan dampak signifikan dari kebijakan perdagangan AS, termasuk tarif 25 persen atas impor baja dan aluminium sejak Maret, serta pajak 10 persen atas berbagai barang yang baru diberlakukan.
Sektor otomotif Jepang menjadi salah satu yang paling terdampak, terutama setelah adanya tarif pada mobil yang menjadi industri andalan. Akazawa menyebut salah satu produsen mobil Jepang telah mengalami kerugian sebesar 1 juta Dolar AS setiap jam akibat kebijakan tersebut, meski ia tidak merinci lebih lanjut.
Ia menambahkan bahwa mobil dan suku cadangnya menyumbang lebih dari sepertiga ekspor Jepang ke AS tahun lalu, sementara sektor pertanian juga sangat penting bagi partai yang berkuasa. Oleh karena itu, kekhawatiran terhadap hasil negosiasi sangat wajar dirasakan banyak pihak di Jepang.
Editor: Agung

