
Oleh Lintong C Monroe
KETIKA publik Batam dikejutkan oleh kabar pergantian pucuk pimpinan PT PLN Batam — dari M Irwansyah Putra kepada Kwin Fo — ada satu detail yang nyaris luput dari perhatian: afiliasi politik sang direktur baru.
Kwin Fo bukan hanya lulusan Teknik Elektro Universitas Trisakti atau mantan profesional di sektor teknik, tapi juga adik dari Wakil Wali Kota Batam, Li Claudia Chandra, kader Partai Gerindra.
Masalahnya, penunjukan direktur utama maupun komisaris di tubuh BUMN, termasuk anak perusahaan seperti PLN Batam, seharusnya tunduk pada prinsip independensi dari kepentingan politik. Hal ini bukan sekadar norma etis, tetapi merupakan aturan yang jelas diatur dalam regulasi negara.
Dasar hukum yang paling tegas dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 45 Ayat (1), yang menyatakan bahwa anggota Direksi dan Dewan Komisaris BUMN dilarang memiliki kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dengan BUMN yang dipimpinnya.
Lalu Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi BUMN, yang menegaskan bahwa calon direksi tidak sedang menjadi pengurus partai politik, calon legislatif, atau calon kepala daerah.
Jangan lupa pula Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menekankan prinsip-prinsip profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk yang dijalankan oleh BUMN.
Mengapa larangan ini penting? Karena ketika BUMN — yang memegang aset strategis negara, termasuk pasokan energi nasional — dipimpin oleh figur yang punya afiliasi politik, risiko benturan kepentingan amat besar.
Bukan hanya menyangkut potensi pengambilan keputusan yang bias demi kepentingan politik tertentu, tetapi juga membuka ruang bagi praktik patronase, korupsi, hingga penggerogotan aset negara demi keuntungan kelompok sempit.
Fenomena titipan politik di BUMN bukan cerita baru. Di era pemerintahan manapun, kursi direksi dan komisaris seringkali dijadikan “hadiah” bagi para loyalis partai atau kelompok yang telah berjasa memenangkan pemilu.
Publik menyaksikan bagaimana profesionalisme sering dikalahkan oleh kedekatan politik, dan kursi-kursi penting itu tak ubahnya menjadi komoditas transaksi politik.
Di Batam, penunjukan Kwin Fo — yang disebut humas PLN Batam sebagai ‘adik dari Wakil Walikota Batam’ — memunculkan pertanyaan serius:
Apakah ia terpilih murni karena kompetensi profesional atau karena koneksi politik? Apakah proses seleksi telah memenuhi ketentuan independensi sebagaimana diatur regulasi?
Bagaimana mekanisme pengawasan internal di tubuh PLN dan Kementerian BUMN untuk memastikan bahwa setiap penunjukan pejabat strategis bebas dari intervensi politik?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa hanya dijawab dengan pernyataan singkat dalam siaran pers tentang kesiapan pasokan listrik.
Ini soal tata kelola (governance), soal keberlangsungan BUMN sebagai institusi publik yang sehat, dan soal kepatuhan hukum.
Penempatan orang partai atau kerabat pejabat daerah di posisi strategis BUMN mengancam prinsip meritokrasi. Alih-alih menjaring profesional terbaik, proses seleksi rawan ditunggangi kepentingan politik.
Ini berdampak pada penurunan kinerja operasional, karena pucuk pimpinan tidak selalu berasal dari kalangan berpengalaman di sektor kelistrikan atau manajemen korporasi.
Kebijakan yang diambil akan menjadi bias kepentingan: keputusan investasi, proyek, atau program bisa diarahkan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, bukan demi kepentingan publik.
Erosi kepercayaan publik tak terhindarkan, masyarakat kehilangan keyakinan bahwa BUMN dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel.
Kalau terus dibiarkan, mimpi menjadikan BUMN Indonesia setara dengan Temasek Holdings atau Khazanah Nasional Berhad hanya akan jadi utopia belaka.
Apa yang Harus Dilakukan?
Para ahli tata kelola harus merekomendasikan langkah-langkah tegas. Pertama, pemerintah perlu memperkuat mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) secara terbuka, melibatkan lembaga independen, bukan hanya Kementerian BUMN.
Kedua, KPK dan lembaga pengawas lain harus proaktif mengawasi potensi benturan kepentingan dalam penunjukan pejabat BUMN.
Ketiga, publik dan media harus terus melakukan kontrol sosial, mengungkap, dan memberi sorotan kritis atas setiap penempatan figur bermuatan politik di perusahaan negara.
Pada akhirnya, BUMN bukanlah ‘ladang kekuasaan’ partai politik — melainkan milik rakyat Indonesia. Dan setiap rupiah yang dihasilkan maupun dibelanjakan BUMN, termasuk oleh PLN Batam, harus kembali untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk politisasi setrum atawa setrumisasi politik yang muaranya memupuk patronase kekuasaan. *
Penulis adalah Mantan Aktivis 98 dan Wartawan Senior.