Lagi-lagi Menuai Kontroversi

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang kerap disebut KDM (Kang Dedi Mulyadi). (Foto: Liputan6)

Oleh L. Nur Salamah, S.Pd.

LAGI dan lagi, kebijakan yang dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang kerap disebut KDM (Kang Dedi Mulyadi) menuai kontroversi.

Setelah melihat bahwa sejumlah anak nakal betah di barak militer, lantas ia menggagas sebuah pendidikan militer, bukan hanya untuk siswa bermasalah, akan tetapi juga akan diperuntukkan untuk anak gemulai.

Benarkah program ini cocok dan mampu mengatasi problem anak atau siswa bermasalah? Atau hanya sebatas investasi politik semata?

Jika kita belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya, tidak sedikit para politisi itu melakukan investasi politik. Apalagi saat ini, adalah zaman media sosial. Diakui atau tidak, banyak orang yang membuat konten, termasuk membuat kebijakan yang kelihatannya populis kemudian menjadi populer.

Terkadang kebijakan yang dikeluarkan pun, tidak melalui proses pengkajian ilmiah, apalagi berdasarkan agama. Namun, lebih kepada ingin mengundang pandangan yang populer.

Termasuk kebijakan memasukkan anak nakal ke barak militer. Secara tidak langsung ini akan mengundang decak kagum dari masyarakat atau banyak orang.

Walaupun sebenarnya sejak zaman Soeharto juga sudah ada sekolah kodim. Akan tetapi tidak bertahan lama. Hasilnya pun juga dipertanyakan.

Jika memang serius ingin membuat program untuk memperbaiki remaja dan pelajar di Jawa Barat, maka alangkah baiknya ada satu kajian ilmiah, kemudian kurikulum yang jelas dan berkesinambungan. Tidak hanya berlangsung sesaat kemudian hilang lagi.

Bukan Tugas TNI

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah TNI memiliki kurikulum yang jelas untuk memperbaiki pelajar atau remaja saat ini? Mengingat secara tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mendidik atau memperbaiki pelajar bukanlah tugas dari TNI. Itu jelas merupakan tugas dari sekolah atau lembaga pendidikan, tugas para psikolog, tugas psikiater, lembaga perlindungan anak. Yang paling pokok merupakan tugas dari keluarga dalam hal ini adalah orang tua.

Maka, jika benar itu sebuah kebijakan rasa-rasanya hanya sekadar shock terapy saja. Tidak akan membawa dampak yang signifikan terhadap mentalitas siswa atau pelajar.

Jika wacana itu benar, anak nakal masuk ke barak militer, ketika mereka keluar kemudian bertemu lingkungan yang toxic sudah bisa dipastikan akan kembali toxic. Kemudian kembali ke rumah/ keluarga. Bapak atau ibunya toxic sudah pasti terkena toxic juga.

Perbaikan yang Menyeluruh

Kalau memang serius peduli dan ingin menyelesaikan persoalan remaja  Indonesia bermasalah, yang sekarang angkanya cukup signifikan dan semakin memprihatinkan dari sisi tindakan, harus ada langkah perbaikan secara keseluruhan.

Tidak bisa hanya memasukkan anak itu ke barak militer atau pelatihan bela diri atau bela negara, akan tetapi harus perbaikan secara menyeluruh.

Jika bicara perbaikan yang menyeluruh, artinya apa? Harus ada kurikulum yang jelas dan terarah. Di mana yang menangani itu juga harus orang-orang yang punya kapasitas dan kapabilitas. Bukan asal-asalan.

Misalnya ada psikolognya, ada psikiaternya, ada juga dari kalangan ustaz, tokoh agama yang membimbing ibadah mereka, menyentuh hati nurani mereka, termasuk harus berkesinambungan. Enggak sekejap kemudian hilang.

Sekali lagi, jika serius dan sungguh-sungguh berniat dan menetapkan kebijakan maka harus dilakukan. Bukan sekadar memasukkan anak 6 bulan ke barak, kemudian keluar lagi. Sementara dari keluarga enggak dibenahi, kondisi ekonomi enggak dibenahi, lingkungan enggak dibenahi, termasuk tindakan hukum bagi remaja bermasalah, maka hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.

WaAllahu’alam Bis Shawwab.

Penulis adalah Ketua Komunitas Muslimah Peduli Umat