
Oleh: Rosadi Jamani
Saya sudah kenalkan Nura Husna Saliha dan Levina Istiazah sebagai jemaah haji termuda. Usianya baru 18 tahun. Kalau ada yang termuda, tak adil kalau tak ada yang tertua. Usianya sudah 109 tahun. Bayangkan wak, Indonesia saja belum ada, ia sudah lahir. Sambil seruput kopi di teras rumah, mari kita berkenalan dengan nenek atau mbah yang ikut berbaur dengan 1,1 juta jemaah haji seluruh dunia.
Ikuti ceritanya, wak! Minggu pagi, 18 Mei 2025, langit Jeddah masih setengah menguap. Matahari baru mengintip malu-malu dari balik menara bandara. Bumi Arab seperti terguncang. Bukan oleh gempa, tapi oleh kedatangan sosok yang nyaris mistis, Mbah Sumbuk, jemaah haji dari Kebumen, usia 109 tahun. Ya, seratus sembilan. Angka yang jika ditulis di spanduk bisa membuat unta menitikkan air mata.
Bandara Internasional King Abdul Aziz seketika berubah atmosfer. Petugas yang semula hanya berkutat pada koper dan paspor, kini mendadak tersentuh spiritualitas yang tak terjadwal. Di atas kursi roda berderak pelan, muncullah tokoh legendaris ini, matanya sayu tapi penuh bara semangat, napasnya pelan namun menggetarkan alam ruhani. Dengan suara yang hampir lebih lirih dari bisikan angin, beliau mengucap, “Alhamdulillah… Mbah tekan kéné.” Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat para petugas merenung dan mengganti playlist mereka dari dangdut koplo ke murottal.
Perjalanan sembilan jam dari Indonesia tidak membuatnya lelah. Tidak juga membuatnya lapar. Tapi sesampainya di tanah Arab, satu hal yang ditanyakan adalah, “Ono lemet, ora?” Sebuah pertanyaan retoris yang seolah ingin menjungkirbalikkan seluruh protokol katering haji. Petugas medis terdiam. Wartawan bingung. Lemet? Makanan sakral dari peradaban singkong dan gula jawa itu? Di Jeddah? Dunia mendadak terasa terlalu global untuk memahami makna lokal. Tapi di balik permintaan itu tersimpan filosofi, bahwa rindu pada kampung halaman dan rasa syukur pada Allah bisa bercampur dalam satu gumpalan lemet yang lengket tapi mulia.
Kejadian makin absurd ketika seorang petugas Media Center Haji bernama Warijan menghampiri. Takdir rupanya menenun cerita, Warijan juga orang Kebumen. Dua jiwa ini berpapasan seperti dua partikel dari masa lalu yang akhirnya bertemu di dimensi spiritual Mekah. Mbah Sumbuk menggenggam tangan Warijan dan berkata, “Melok Mbah nang Mekkah yo, Le.” Tapi Warijan, dengan lembut dan air mata spiritual, menjawab, “Tugas kulo nang bandara, Mbah.” Dunia seakan terdiam. Bahkan jam dinding di ruang kedatangan menunda berdetak, memberi ruang pada adegan yang lebih menyentuh dari episode terakhir sinetron Ramadan.
Petugas haji menyiapkan bus khusus dengan lift hidrolik. Bayangkan, wak! Teknologi tercanggih di Arab hanya untuk memastikan satu kursi roda bisa naik tanpa mengganggu tulang punggung yang telah menopang niat selama lebih dari satu abad. Angin pun berhembus lebih pelan, seakan memberi penghormatan terakhir sebelum Mbah Sumbuk bergerak menuju kota suci.
Orang-orang di sekitar tak bisa menahan haru. Bahkan kamera CCTV pun merekam dengan penuh khidmat. Dalam diri Mbah Sumbuk, kita melihat haji bukan lagi sekadar rukun Islam kelima, tapi opera kehidupan yang megah. Ia adalah ziarah akbar, bukan hanya ke Tanah Suci, tapi ke dalam batin yang sabar, tekad yang membaja, dan cinta yang tak lekang oleh usia.
Kini dunia tahu. Haji bukan milik mereka yang muda dan kuat, bukan pula mereka yang viral di TikTok dakwah. Tapi milik mereka yang menyimpan tekad dalam diam, menabung harapan dalam doa, dan terus percaya bahwa Allah tak pernah tutup pintu, bahkan untuk pejuang sepuh berusia seratus sembilan tahun. Maka, jika mas masih bisa berjalan, masih bisa mengetik caption, dan masih bisa jajan kopi susu lima puluh ribu, tapi belum juga daftar haji, jujurlah pada dirimu, apa yang sebenarnya kamu tunggu?