Puisi untuk Anak-Anak Gaza

Ilustrasi anak-anak Gaza yang kelaparan. (Foto: VOA)

Oleh Swary Utami Dewi

PENYAIR Indonesia Membaca Gaza. Itulah ajang penyair menyuarakan keprihatinannya atas pembantaian yang terjadi terhadap pilihan ribu rakyat Palestina oleh pemerintah zionis. Kegiatan siang hingga sore ini diselenggarakan oleh World Poetry Movement (WPM), suatu komunitas internasional para penyair. Di Indonesia, WPM diketuai oleh Sastri Bakry, seorang sastrawan dan budayawan senior dari Sumatra Barat.

Love & Save Gaza. Itulah tema besar yang mendorong lebih dari 20 penyair untuk menyuarakan kepedihan sekaligus cintanya kepada rakyat Palestina. Di antara yang membaca adalah cerpenis Fanny J. Poyk, Nunung Noor El Niel, Erna Katoyo, dan saya, Swary Utami Dewi.

Puisi kali ini yang saya baca adalah puisi esai, yang baru ditulis pagi ini oleh Bang Denny JA. Saat melihat postingan itu di beberapa grup, entah mengapa saya merasa puisi esai Bang Denny kali ini berbeda. Datang dari hati. Saya pun tergerak untuk membacakannya. Saya mengatakan ke Bang Denny kalau saya mau membacakan puisi tersebut di ajang puisi tentang Gaza, yang diadakan di Lantai 6, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, 31 Mei 2025

Sewaktu menjelaskan bahwa puisi esai tersebut adalah karya Denny JA, beberapa yang hadir tampak ternganga. Bahkan, ada yang berbisik. Tapi saat pembacaan puisi dilakukan semua menyimak dengan baik. Puisi esai tersebut berjudul “Ketika Kita Diam Saja Melihat 1.300 Anak-Anak Dibunuh”.

Puisi itu cukup panjang. Beberapa bagian menyentak saya. Dalam puisi esai ini diceritakan ada seorang diplomat, Riyad Mansour, yang merasa marah, sedih, sekaligus tak berdaya melihat betapa kejinya pembunuhan terhadap anak-anak Palestina itu.

Salah satu bait yang menyesaki dada saya adalah yang berikut ini:

…Ia adalah Riyad Mansour,
tangan yang mewakili tanah yang terbakar,
tubuh yang membawa nama Palestina,
tapi di hari itu, ia bukan diplomat.

Ia hanya seorang kakek.
Dengan suara patah ia berkata:
“Saya punya cucu.
Saya tahu apa arti mereka…”

Lalu ia terdiam.
Air matanya mendahului kata-kata.
Karena apa lagi yang bisa menjelaskan,
bagaimana 1300 anak-anak
dibunuh,
dengan tubuh kecil mereka
tak bisa lagi berlari ke pelukan siapa pun?….

***

Saya terus membacakan puisi tersebut. Saya merasa bahwa mata yang menyaksikan pembacaan itu adalah mata yang berempati, mata yang merasakan duka, sekaligus mata yang menyorotkan amarah terhadap apa yang sedang terjadi di Palestina.

Dan bait penutup terakhir ini menjadi penggugat sekaligus pengingat nurani bagi kita semua:

…Jika setelah 1.300 anak-anak dibunuh
kita masih bisa tidur lelap,
masih bisa menyeruput kopi
dan menggulir berita lainnya,
maka mungkin,
yang mati bukan hanya mereka.
Tapi kita juga,
yang seolah hidup,
tapi hati kita sudah ikut mati.
Dan kelak, jika kita dikenang,
biarlah nama kita tercatat bukan sebagai pembela,
tapi sebagai saksi yang bungkam
saat masa paling memalukan
dalam sejarah manusia.*

31 Mei 2025

Penulis adalah Sekretaris Satupena, komunitas penulis Indonesia.