Aktivitas Tambang Nikel Ancam Surga Bawah Laut Indonesia

Kerusakan lingkungan yang mengancam kawasan wisata Raja Ampat di Papua. (Foto: Kompas)

Oleh Widdiya Permata Sari

KEINDAHAN alam Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu kawasan biodiversitas laut terkaya di dunia, kini berada di ambang kehancuran. Aktivitas pertambangan nikel yang direncanakan di sekitar kawasan ini mengundang kecaman dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan, tokoh masyarakat, dan kalangan ulama.

Rencana penambangan nikel di wilayah Waigeo Timur, yang merupakan bagian dari Kabupaten Raja Ampat, menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampaknya terhadap ekosistem laut. Kegiatan ini dinilai berpotensi mencemari perairan dan merusak tatanan hidup masyarakat adat yang selama ini bergantung pada kelestarian alam.

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan untuk Greenpeace Indonesia, menyatakan bahwa proyek tambang nikel di Papua berisiko tinggi mengganggu kelangsungan hidup berbagai spesies serta merusak potensi ekowisata yang menjadi andalan masyarakat lokal, khususnya di Raja Ampat.

Raja Ampat sendiri merupakan kawasan yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Sekitar 75 persen spesies terumbu karang dunia ditemukan di sini, bersama lebih dari 1.400 jenis ikan karang serta 700 spesies moluska. Salah satu spesies ikonik yang hidup di wilayah ini adalah ikan pari manta (Mobula birostris), yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan mancanegara. (Tempo.co,4 juni 2025)

Namun, jika kegiatan tambang ini terus dipaksakan, ancaman kerusakan lingkungan bukan hanya berskala lokal, melainkan juga global. Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, tetapi salah satu pusat ekologi dunia yang menjadi laboratorium alami keanekaragaman hayati ciptaan Allah. Kerusakan di wilayah ini akan berdampak pada hilangnya ribuan spesies laut, terumbu karang, dan rusaknya keseimbangan alam yang telah Allah tetapkan.

Lebih dari itu, kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada laut, seperti nelayan, pemandu wisata, dan pelestari alam, akan kehilangan sumber penghidupan. Mereka bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga warisan budaya, spiritual, dan sejarah yang telah dijaga secara turun-temurun. Dalam pandangan Islam, merusak kehidupan sesama manusia dan lingkungan adalah bentuk kezaliman.

Dalam pandangan syariat Islam, laut bukanlah objek yang boleh dimiliki oleh individu, kelompok tertentu, korporasi, bahkan negara sekalipun. Islam memandang laut, berikut seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya, sebagai milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum).

Negara dalam sistem Islam tidak memiliki hak untuk menguasai laut sebagai kepemilikan pribadi, namun hanya berfungsi sebagai pengelola (mudabbir) yang bertanggung jawab mendistribusikan hasilnya demi kemaslahatan rakyat.

Distribusi ini bisa berupa penyediaan layanan publik seperti pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, fasilitas kesehatan yang memadai, serta pembangunan infrastruktur umum seperti jalan raya dan jembatan. Dengan mekanisme ini, kekayaan alam benar-benar dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sahnya.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 2463):

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api; dan tidak halal memperjualbelikannya.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menjadi dasar kuat bahwa tiga jenis sumber daya

Pertama, air (termasuk laut, sungai, danau, dan mata air). Kedua, padang rumput (termasuk hutan). Ketiga, api (yang mencakup energi dan tambang seperti minyak bumi, gas alam, batubara, nikel, uranium)

Semua itu adalah hak bersama umat, bukan komoditas untuk dikapitalisasi. Dalam sistem Khilafah, negara bertindak sebagai pengelola amanah publik, bukan pelayan korporasi. Oleh karena itu, segala bentuk eksploitasi kekayaan milik umum oleh pihak swasta maupun asing termasuk tambang nikel, emas, gas, dan sejenisnya adalah haram secara syar’i. Negara haram hukumnya memberikan izin pengelolaan kepada individu atau perusahaan demi keuntungan segelintir pihak.

Sistem Islam menjamin bahwa pengelolaan kekayaan alam tidak akan tunduk kepada tekanan oligarki ekonomi atau kepentingan investor asing. Khilafah akan menerapkan hukum Allah secara total dalam tata kelola sumber daya, sehingga setiap jengkal bumi, setiap tetes air, dan setiap butir mineral benar-benar kembali untuk kemaslahatan umat.*

Penulis adalah Komunitas Muslimah Perindu Syurga. Bermastautin di Batam