
J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan gaji hakim hingga 280 persen menuai respons kritis dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Jimly Asshiddiqie. Ia menilai kebijakan tersebut bukanlah solusi untuk membenahi sistem hukum dan kewenangan kehakiman di Indonesia yang tengah dilanda krisis kepercayaan publik.
Dalam diskusi “Politics & Colleagues Breakfast (PCB)” bertema “Menimbang Amandemen Konstitusi”, yang digelar di Jakarta Selatan pada Jumat, 13 Juni 2025, Prof. Jimly menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kekuasaan kehakiman yang kini banyak tercoreng oleh praktik korupsi.
“Sistem penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman kita sudah sangat memprihatinkan. Ini adalah puncak dari kemerosotan, sudah menjadi sarang mafia peradilan,” kata Jimly.
Ia menyinggung kasus dugaan korupsi yang melibatkan seorang pejabat hukum bernama Zarof, di mana ditemukan uang tunai sebesar Rp1 triliun di salah satu rumahnya. “Kalau satu rumah ada satu triliun, bayangkan kalau ada tiga rumah. Dan uang sebanyak itu pasti dikumpulkan lebih dari setahun. Tak mungkin dia bekerja sendirian,” tambahnya.
Jimly juga menyebut bahwa kasus tersebut hanyalah puncak dari gunung es. Belum tuntas perkara Zarof, enam hakim lainnya sudah tertangkap karena kasus serupa.
Meski demikian, Jimly tetap mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang akhirnya menaikkan gaji hakim setelah bertahun-tahun tidak ada penyesuaian. Namun, menurutnya, peningkatan kesejahteraan ini belum menyentuh akar persoalan dalam sistem hukum.
“Kita bersyukur Bapak Presiden menaikkan gaji hakim, tapi saya sudah mengalami hal serupa saat kenaikan gaji tahun 2012. Setelah itu tetap stagnan hingga kini. Mereka tetap turun ke jalan, tetap menuntut,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa solusi untuk membenahi dunia peradilan bukan sekadar dengan menaikkan gaji. “Kalau jawabannya hanya gaji naik, masalah tidak akan selesai,” tutup Jimly.
Editor: Agung

