Forum Diskusi Pers Berakhir Ricuh, Ketua PWI Batam Jadi Korban Pengeroyokan

Forum diskusi pers yang mengundang sejumlah pengurus PWI Batam dan wartawan senior di Ballroom Lavender, Swiss-Belhotel Harbour Bay, Sabtu (14/6/2025). (Foto: J5NEWSROOM.COM)

J5NEWSROOM.COM, Batam – Acara bertajuk Klarifikasi Pers yang digelar oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai wartawan dengan mengundang sejumlah pengurus PWI Batam dan wartawan senior di Ballroom Lavender, Swiss-Belhotel Harbour Bay, Sabtu (14/6/2025), berujung ricuh.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Batam, M Khafi Ashary, diduga menjadi korban pengeroyokan saat menyampaikan materi mengenai pentingnya sertifikasi wartawan sesuai ketentuan Dewan Pers.

Acara yang awalnya bertujuan sebagai forum diskusi dan klarifikasi terkait narasi “Wartawan Bukan Preman” itu berubah panas ketika Khafi menegaskan bahwa wartawan seharusnya bersertifikasi. Ia menyebut, tanpa sertifikasi, aktivitas jurnalistik yang dilakukan bisa terindikasi sebagai bentuk premanisme berkedok wartawan.

Pernyataan tersebut memancing reaksi keras dari peserta forum. Suasana memanas hingga terjadi keributan. Dalam video yang beredar, terlihat Khafi dipukuli saat berusaha dievakuasi keluar ruangan oleh unit Intelkam Polsek Batu Ampar.

Aksi kekerasan itu sempat dihentikan oleh anggota PWI Batam, Faisal, yang mencoba melindungi Khafi. Namun dalam upaya tersebut, Faisal justru mengalami cedera di bagian kaki akibat terdorong dan terjatuh.

Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Kepri Marganas Nainggolan yang menghadiri undangan tersebut mengatakan, dirinya dijebak dalam acara tersebut.

Marganas menyaksikan langsung dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana diskusi berubah ricuh dan Ketua PWI Batam, M Khafi Ashary, menjadi korban pengeroyokan.

“Awalnya saya dihubungi oleh seseorang yang mengaku wartawan dari hallopost.com, bernama Ali Saragih, melalui WhatsApp. Mereka merasa terpojok oleh pemberitaan akhir-akhir ini dan meminta bantuan saya untuk mempertemukan mereka dengan Khafi. Karena rasa empati sesama jurnalis, saya tanggapi,” ujar Marganas saat konferensi pers di Kantor PWI Batam, Sabtu malam.

Marganas mengaku hubungannya dengan para pengundang awalnya murni dalam semangat kolegialitas. Ia membantu memfasilitasi pertemuan, dan hadir bersama Khafi dalam kapasitas pribadi, bukan sebagai perwakilan organisasi.

Namun suasana forum sejak awal terasa tidak sehat. Alih-alih menjadi ruang diskusi terbuka, forum berubah menjadi arena desakan dan cecaran terhadap Khafi. Materi yang disampaikan Khafi mengenai pentingnya sertifikasi wartawan justru memicu reaksi keras dan memanasnya suasana.

“Semakin bergulir waktu, forum berubah menjadi tempat untuk menginterogasi. Padahal, kami datang untuk berdiskusi. Ketika akhirnya terjadi kericuhan, saya nilai itu sudah masuk kategori pengeroyokan, tak ada etikanya,” tegas Marganas ucapnya di sekretarian PWI Batam.

Ia menambahkan, dirinya tidak pernah menuduh wartawan sebagai preman. Namun, tindakan yang terjadi di dalam forum berupa teriakan, desakan, bahkan kekerasan fisik adalah bentuk premanisme.

“ Jika forum ini betul-betul dihadiri oleh insan pers yang berintegritas dan berwawasan, maka tak akan ada insiden seperti tadi. Kita ingin bertukar pikiran. Tapi jika kita diundang dan kemudian dijebak, itu bukan diskusi, tapi itu premanisme,” ujarnya geram.

Dalam insiden tersebut, selain Khafi yang diduga dikeroyok saat dievakuasi keluar ruangan, anggota PWI lainnya, Faisal, juga menjadi korban saat berusaha melindungi Khafi. Ia jatuh dan mengalami cedera pada kaki, dan kini tengah menjalani visum.

Sementara itu, Ketua PWI Kepri, Saibansah Dardani, menanggapi insiden ini. Ia menegaskan bahwa PWI tidak pernah bermaksud mendiskreditkan wartawan mana pun, termasuk mereka yang berasal dari media yang belum terverifikasi Dewan Pers atau belum mengikuti uji kompetensi.

Namun, Saiban menekankan perlunya ketegasan terhadap oknum yang menyalahgunakan profesi jurnalistik untuk tindakan pemerasan atau intimidasi.

“Tidak semua wartawan seperti itu. Tapi ketika ada dugaan tindakan premanisme, apalagi terhadap guru dan pihak sekolah seperti yang belakangan ini muncul, maka harus ada klarifikasi dan evaluasi. Kita tidak bisa biarkan profesi ini dirusak oleh segelintir orang,” ujar Saiban mengakhiri.

Editor: Agung